Jadi Rabu (27/6) siang, memanfaatkan jatah libur nasional, sejumlah member Kompasianer Palembang (Kompal) berkumpul di Gramedia World (GW) Palembang.
Seperti biasa, tidak perlu agenda khusus kalau sekadar mau kopdar. Kadang cuma memenuhi undangan traktiran Dokter Posma Siahaan, kadang sekadar ingin nonton film atau piknik bersama.
Bahkan "pengen ngirup cuko" pun sudah cukup alasan untuk kompal bertemu satu sama lain. Tapi, kalau memang mau memaksa, judul agenda hari ini adalah : Ajang Pamer Jari Bertinta Pasca-pemilihan Kepala Daerah.
Berkumpul tepat setelah memberikan hak suara di TPS masing-masing, kami berburu buku murah dan ngemil bersama di salah satu gerai makanan.
Hanya enam orang (7 dengan Davie) dari member Kompal yang hadir, namun obrolan cukup seru, terutama saat membahas hasil quick count daerah sendiri maupun daerah lain.
Kalau ingin melihat betapa beragamnya masyarakat Sumatera Selatan pada umumnya (dan kota Palembang khususnya), maka berkenalanlah dengan Kompasianer Palembang (Kompal). Bukan bermaksud narsis atau menyombongkan komunitas sendiri, namun sungguh memang begitulah adanya.
Bukan cuma jagoan Cagub dan Cawagub kami di Pilkada hari ini yang berbeda, namun latar belakang profesi pendidikan, suku, agama, bahkan usia member Kompal juga sangat beragam. Meski sudah tahu fakta ini sejak awal berdirinya komunitas regional ini, namun saya baru benar-benar meresapi keberagaman itu hari ini.
Jadi ceritanya, saat bersama-sama makan di salah satu gerai, saya dan Ko Deddy Huang asyik ngemil baki (bakso babi) yang dipesan lewat jasa go-food. Kompalers lainnya yang sudah jelas tidak bisa menyentuh baki karena haram (meski Kak Yayan di awal sepertinya kepingin sekali ,hehehe :p) justru terlihat santai dan tetap melanjutkan makan pesanan mereka seperti biasa.
Sama biasanya seperti kalau Bikcik pesan pempek lenggang, dan yang lain pilih kapal selam. Sama biasanya pula seperti saya yang suka jus pokat, tapi Kak Yayan kebetulan anti meminumnya.
Demikian pula Kak Grant yang seorang penganut Buddha taat dan (sepertinya) vegan. Semuanya seperti memberi lampu hijau kepada saya dan Ko Deddy untuk, "Silakan, santai saja nikmati makananmu!"
Saya yang dari awal ragu dengan ide memesan baki, menjadi sedikit rileks. Terus terang, ini pengalaman pertama saya makan sesuatu yang "haram" tepat di depan teman-teman muslim, jadinya meninggalkan rasa tidak nyaman. Rasa tidak nyaman yang sama seperti kalau sedang makan di depan orang berpuasa.
Hasrat tak terbendung untuk makan baki hari ini sebetulnya murni karena faktor lokasi semata. Warung penjualan baki kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari gedung GW, jadi ongkos go-foodnya sangat murah.
Dan kalau hari tidak kebetulan hujan mungkin saya dan Ko Deddy pilih mendatangi langsung warung penjualnya. Jadi sama sekali tidak berniat pamer, apalagi "mingin-mingini" mereka untuk mencicip baki.
Tapi syukurlah, Kompalers yang lain sungguh tak menganggap kami alien apalagi bersikap memusuhi hanya karena kami makan baki tepat di depan mereka.
Kehangatan Kompal yang seperti ini, kalau diingat-ingat ..., selalu saya rasakan dari waktu ke waktu. Terutama saat momen merayakan hari besar tiba. Selalu ada perwakilan kompal yang datang ke kosan saat saya merayakan natal. Kami juga berkunjung ke rumah Ko Deddy saat Imlek. Dan yang masih segar dalam ingatan, tradisi sanjo (tradisi saling berkunjung saat lebaran khas Sumsel) juga Kompal lestarikan saat Idul Fitri kemarin.
Beberapa teman dari luar daerah mengaku suka takut dengan "wong Palembang". Kasar katanya. Tak segan menujah dan membunuh katanya.
Tukang copet dan tukang begal katanya. Saya tak menampik kalau gaya bicara orang Palembang dan Sumatera memang cenderung kasar jika dibandingkan dengan suku-suku di Pulau Jawa. Demikian dengan tingkat kriminalitas yang rasanya memang cukup tinggi.
Namun tidak adil rasanya menilai Palembang, atau Sumatera Selatan hanya dari segelintir oknum penjahat yang suka merugikan orang lain. Lihatlah Palembang lebih luas.
Mereka yang hati dan pikirannya terbuka jumlahnya jauh, jauh lebih banyak. Saat daerah lain sangat mungkin berkonflik karena suku atau agama, kami di sini saling merangkul. Perbedaan bukan alasan untuk saling membenci, namun menjadi warna yang menjadikan kami semakin kaya.
Lihat. Lihatlah Kompal. Bukan cuma Islam, Kristen, Buddha, atau Batak, Jawa, padang, Palembang asli dan etnis tionghoa. Dokter, bankir, pengacara, guru, mahasiswa, wiraswasta, hingga pekerja serabutan juga ada. Bercanda bebas saja asal tetap pegang batasannya. Beda pandangan, ide, dan pendapat sudah biasa.
Berdebat dan saling ngambek sesekali juga tak mengapa. Apalagi kalau cuma pilihan jagoan pilkada ... tidak perlulah itu ditanya.
Semoga Kompal tetap seperti ini. Saling menghormati yang benar-benar berangkat dari hati. Tidak perlu koar-koar berjanji cinta damai tanpa diskriminasi. Namun biarlah mengalir murni dari kesadaran diri.
Catatan dariku, yang tak habis bersyukur telah menjadi bagian dari Kompal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H