Demikian pula Kak Grant yang seorang penganut Buddha taat dan (sepertinya) vegan. Semuanya seperti memberi lampu hijau kepada saya dan Ko Deddy untuk, "Silakan, santai saja nikmati makananmu!"
Saya yang dari awal ragu dengan ide memesan baki, menjadi sedikit rileks. Terus terang, ini pengalaman pertama saya makan sesuatu yang "haram" tepat di depan teman-teman muslim, jadinya meninggalkan rasa tidak nyaman. Rasa tidak nyaman yang sama seperti kalau sedang makan di depan orang berpuasa.
Hasrat tak terbendung untuk makan baki hari ini sebetulnya murni karena faktor lokasi semata. Warung penjualan baki kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari gedung GW, jadi ongkos go-foodnya sangat murah.
Dan kalau hari tidak kebetulan hujan mungkin saya dan Ko Deddy pilih mendatangi langsung warung penjualnya. Jadi sama sekali tidak berniat pamer, apalagi "mingin-mingini" mereka untuk mencicip baki.
Tapi syukurlah, Kompalers yang lain sungguh tak menganggap kami alien apalagi bersikap memusuhi hanya karena kami makan baki tepat di depan mereka.
Kehangatan Kompal yang seperti ini, kalau diingat-ingat ..., selalu saya rasakan dari waktu ke waktu. Terutama saat momen merayakan hari besar tiba. Selalu ada perwakilan kompal yang datang ke kosan saat saya merayakan natal. Kami juga berkunjung ke rumah Ko Deddy saat Imlek. Dan yang masih segar dalam ingatan, tradisi sanjo (tradisi saling berkunjung saat lebaran khas Sumsel) juga Kompal lestarikan saat Idul Fitri kemarin.
Beberapa teman dari luar daerah mengaku suka takut dengan "wong Palembang". Kasar katanya. Tak segan menujah dan membunuh katanya.
Tukang copet dan tukang begal katanya. Saya tak menampik kalau gaya bicara orang Palembang dan Sumatera memang cenderung kasar jika dibandingkan dengan suku-suku di Pulau Jawa. Demikian dengan tingkat kriminalitas yang rasanya memang cukup tinggi.
Namun tidak adil rasanya menilai Palembang, atau Sumatera Selatan hanya dari segelintir oknum penjahat yang suka merugikan orang lain. Lihatlah Palembang lebih luas.
Mereka yang hati dan pikirannya terbuka jumlahnya jauh, jauh lebih banyak. Saat daerah lain sangat mungkin berkonflik karena suku atau agama, kami di sini saling merangkul. Perbedaan bukan alasan untuk saling membenci, namun menjadi warna yang menjadikan kami semakin kaya.