Ini sekuel dari tulisan sebelumnya "Rusuhnya Geng Kompal Ketemu Kang Maman" di sini.
***
Intro :
Mendengar Kang Maman berbicara itu tidak seperti mendengar pidato pembina upacara bendera, kata sambutan saat kondangan, materi seminar, maupun khotbah pendeta (ups!). Serius, selama sekira 2 jam lebih beliau berbicara di depan 70-an orang itu, saya sama sekali tidak merasa digurui, dipaksa menyimak atau memerhatikan, apalagi dikhotbahi. Lebih seperti sedang didongengi, walau tentu saja yang beliau tuturkan itu jelas bukan dongeng sungguhan, melainkan kisah yang sebenar-benarnya terjadi. Saya merasa didongengi, karena ternyata memang jadi sangat, sangat betah mendengarnya. Kadar fokus bahkan mencapai 90% (sisanya hanya teralihkan dengan kemunculan seekor kucing belang tiga dan rasa cuko pempek made by Dipo Cafe). Ini rekor baru sepanjang 27 tahun saya hidup dengan otak ADHD.
Saya juga bingung mau menulis dari sisi mana karena semuanya menarik. Setelah mempertimbangkan dengan saksama dan dalam tempo semalam suntuk, saya memutuskan untuk fokus pada "dongeng" Kang Maman yang sukses bikin kacamata saya berembun oleh air mata. Berikut kisahnya ...
Nilai Buku-Buku Itu di Mata Bocah Pambusuang
Kang Maman yang sudah berpuluh tahun menyebarkan virus literasi ke seluruh negeri, berbagi pengalamannya mengantar buku untuk anak-anak Pambusuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Beliau menumpang perahu pustaka yang dikelola pegiat literasi, Muhammad Ridwan Alimuddin. Naas, perahu tersebut terbalik, sementara Kang Maman terjebak dalam lambung kapal yang tenggelam bersama lebih kurang 5000 buku. Untungnya Kang Maman selamat meski sudah seperempat jam terbenam di dalam air.
"Yang membuat saya terharu itu bukan karena saya berhasil selamat dari maut, tapi bagaimana saya melihat anak-anak di sana dengan dibantu warga berupaya mengumpulkan buku-buku itu dengan jaring. Mereka memunguti, menjemurnya selama sebulan penuh ...." Kang Maman berhenti sejenak, kemudian menambahkan dengan suara tercekat, "dan menyetrika lembar demi lembar halamannya satu per satu."
Kang Maman menyatakan keheranannya akan perilaku "lebay" penduduk di sana. Kenapa harus repot-repot begitu? Toh hanya buku. Nanti Kang Maman bisa bawakan lagi satu perahu sebagai penggantinya.
"Namun mereka hanya menjawab, 'buku ini adalah amanah dari mereka yang sudah menyumbang. Kami harus pertanggungjawabkan.'"
Saya membeku. Tak hanya bayang adegan yang dituturkan Kang Maman itu jelas terpeta di benak saya, namun entah kenapa malah terbayang juga dengan nasib ratusan buku saya di rumah. Saya senang membaca, tetapi sesungguhnya sama sekali bukan kolektor. Meski tak melakukannya dengan sengaja, umumnya buku-buku saya bernasib tragis karena tak pernah telaten merawat. Sobek sampulnya, hilang beberapa halamannya, tercabik lembarannya oleh bekas cakar kucing, kotor oleh lumpur bercap kaki kucing, berminyak, terlipat di sana-sini, dan sederet kebrutalan tak termaafkan lainnya.