Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Empat Titik Air Mata untuk Tiga "Dongeng" Maman Suherman

5 Maret 2018   16:56 Diperbarui: 5 Maret 2018   17:10 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kang Maman berkisah soal penolakannya atas tawaran mem-film-kan buku ini. Menurutnya, para sineas itu telah gagal menerjemahkan pesan yang sangat ingin beliau sampaikan terkait Re:

Novel Re: banyak dilirik sineas untuk difilmkan lantaran cerita sensasionalnya. Mengenai kehidupan Re: seorang pelacur lesbian di Ibu Kota dengan segenap lika liku kehidupannya yang kelam. Namun sudah. Sebatas itu saja.

Padahal di mata Kang Maman, Re: yang sekaligus objek penelitian skripsinya itu jelas bukan pelacur biasa. Dia seorang ibu tegar yang memilih mempertahankan bayi dalam kandungannya. Dia ibu yang tak ingin mengotori anaknya dengan keringat pelacurnya, hingga meminta tolong orang lain untuk memelukkan anak itu untuknya. Dia ibu, yang akan melakukan apa saja agar anaknya tak menjalani hidup sama sepertinya.

"Dari rahim perempuan seperti itu, lahir seorang anak perempuan cantik, yang saat dewasa menyandang gelar Doktor dari Universitas di luar negeri," kata Kang Maman. "Re: juga perempuan yang tak pernah menyebut nama aslinya, yang di kemudian hari saya baru tahu kalau nama lengkap Re: ternyata sama dengan nama filsuf muslimah terkenal yang begitu dikagumi ibunya."

Tetes ketiga menggenang, untuk Re: yang merasa hidupnya sangat kotor, sehingga terlalu malu untuk menyandang nama aslinya :  Rabiah Al Adawiyah.

Sepulang dari acara Kang Maman, bak kesetanan, saya hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk menamatkan novel tipis ini. Entah bagaimana, saya melihat diri saya sendiri dalam tokoh Aku. Bagaimana Kang Maman memandang Re: , begitu juga pandangan saya terhadap teman-teman dari komunitas gay yang begitu saya akrabi. Bahwa kita memang tidak bisa melihat dunia sebatas hitam - putih saja, karena ada begitu banyak sudut dan ruang yang terkadang kasat jika tak kita selami sendiri.

Membaca buku ini juga memancing memori saya saat masih jadi kuli tinta hampir sejuta tahun lalu. Ketegangan itu, rasa frustrasi itu, rasa mual itu ... Ah, kok mendadak jadi ingin liputan lagi.

Kembali pada kisah Re: dalam buku ini, saya bisa menyelami kegamangan Re: atas takdir hidupnya atau kerinduannya pada sosok Tuhan. Karena banyak teman-teman saya yang berprofesi sama merasa seperti itu (termasuk teman-teman komunitas LGBT juga). Perasaan manusia-manusia yang kerap merasa seperti sampah ini tertuang dalam salah satu bait di surat panjang Re: di halaman 153,

Adakah surga untuk Re: ?
Adakah surga untuk Re: ?
Ya. Kang Maman, kita sepakat bahwa sebesar-besarnya murka Tuhan, tidak akan pernah melebihi pengampunanNya.

Dan air mata keempat, butirnya menetes di halaman akhir buku Re:

Bagimu yang belum membacanya, biar kuberi tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun