Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Empat Titik Air Mata untuk Tiga "Dongeng" Maman Suherman

5 Maret 2018   16:56 Diperbarui: 5 Maret 2018   17:10 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini sekuel dari tulisan sebelumnya "Rusuhnya Geng Kompal Ketemu Kang Maman" di sini.

***

Intro :

Mendengar Kang Maman berbicara itu tidak seperti mendengar pidato pembina upacara bendera, kata sambutan saat kondangan, materi seminar, maupun khotbah pendeta (ups!). Serius, selama sekira 2 jam lebih beliau berbicara di depan 70-an orang itu, saya sama sekali tidak merasa digurui, dipaksa menyimak atau memerhatikan, apalagi dikhotbahi. Lebih seperti sedang didongengi, walau tentu saja yang beliau tuturkan itu jelas bukan dongeng sungguhan, melainkan kisah  yang sebenar-benarnya terjadi. Saya merasa didongengi, karena ternyata memang jadi sangat, sangat betah mendengarnya. Kadar fokus bahkan mencapai 90% (sisanya hanya teralihkan dengan kemunculan seekor kucing belang tiga dan rasa cuko pempek made by Dipo Cafe). Ini rekor baru sepanjang 27 tahun saya hidup dengan otak ADHD.

Saya juga bingung mau menulis dari sisi mana karena semuanya menarik. Setelah mempertimbangkan dengan saksama dan dalam tempo semalam suntuk, saya memutuskan untuk fokus pada "dongeng" Kang Maman yang sukses bikin kacamata saya berembun oleh air mata. Berikut kisahnya ...

Nilai Buku-Buku Itu di Mata Bocah Pambusuang

Kang Maman yang sudah berpuluh tahun menyebarkan virus literasi ke seluruh negeri, berbagi pengalamannya mengantar buku untuk anak-anak Pambusuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Beliau menumpang perahu pustaka yang dikelola pegiat literasi, Muhammad Ridwan Alimuddin. Naas, perahu tersebut terbalik, sementara Kang Maman terjebak dalam lambung kapal yang tenggelam bersama lebih kurang 5000 buku. Untungnya Kang Maman selamat meski sudah seperempat jam terbenam di dalam air.

"Yang membuat saya terharu itu bukan karena saya berhasil selamat dari maut, tapi bagaimana saya melihat anak-anak di sana dengan dibantu warga berupaya mengumpulkan buku-buku itu dengan jaring. Mereka memunguti, menjemurnya selama sebulan penuh ...." Kang Maman berhenti sejenak, kemudian menambahkan dengan suara tercekat, "dan menyetrika lembar demi lembar halamannya satu per satu."

Kang Maman menyatakan keheranannya akan perilaku "lebay" penduduk di sana. Kenapa harus repot-repot begitu? Toh hanya buku. Nanti Kang Maman bisa bawakan lagi satu perahu sebagai penggantinya.

"Namun mereka hanya menjawab, 'buku ini adalah amanah dari mereka yang sudah menyumbang. Kami harus pertanggungjawabkan.'"

Saya membeku. Tak hanya bayang adegan yang dituturkan Kang Maman itu jelas terpeta di benak saya, namun entah kenapa malah terbayang juga dengan nasib ratusan buku saya di rumah. Saya senang membaca, tetapi sesungguhnya sama sekali bukan kolektor. Meski tak melakukannya dengan sengaja, umumnya buku-buku saya bernasib tragis karena tak pernah telaten merawat. Sobek sampulnya, hilang beberapa halamannya, tercabik lembarannya oleh bekas cakar kucing, kotor oleh lumpur bercap kaki kucing, berminyak, terlipat di sana-sini, dan sederet kebrutalan tak termaafkan lainnya.

Mendengar kisah anak-anak di Timur Indonesia yang kesulitan mengakses buku, membuat saya merasa telah melakukan dosa besar. Ampuunn !! Saya bertobat. Saya janji mulai sekarang akan memperlakukan mereka dengan lebih berperikebukuan. Setidaknya kalau lemari-lemari itu tak kuat lagi menampungnya, buku-buku itu masih layak disumbangkan.

Titik air mata pertama saya terbit, untuk anak-anak entah di mana, yang begitu rindukan buku dalam peluk mereka.

Ramalan Punahnya Indonesia Karena Hoax

"Hoax dibuat oleh orang pintar yang jahat, dan disebar oleh orang baik yang bodoh," kata Kang Maman.

Ratusan nyawa bisa hilang dibantai hanya karena sebuah hoax. Hoax selalu menimbulkan perpecahan, dan tidak ada yang terlalu besar untuk tak hancur oleh perpecahan itu. Uni Soviet misalnya. Lihat nasib negara superpower di masa lalu itu kini. Punah. Hanya tinggal sisa-sisa mereka yang tercerai dan memilih jalan sendiri-sendiri.

Dan, suka tidak suka, faktanya Indonesia perlahan namun pasti tengah melangkah menuju ke arah itu. Salah satu indikasinya, adalah betapa mudahnya masyarakat kita ikut andil dalam penyebaran hoax. Asal share dan langsung ambil kesimpulan tanpa check and re-check kebenarannya. Begitu mudahnya masuk dalam perangkap ujaran kebencian. Begitu mudahnya kita membenci mereka yang punya pilihan berbeda. Yah, hanya butuh sedikit orang pintar nan jahat untuk mematik apinya, lalu sebanyak mungkin orang baik tapi bodoh untuk menyiram bensinnya. Dan whuuuzzzzz, Indonesia akan hangus terbakar oleh masyarakatnya sendiri.

Namun ini semua masih bisa dicegah. Salah satunya dengan turut berperan sebagai penggiat literasi. Tulari semua orang dengan virus membaca, sehingga mata mereka terbuka untuk dapat melihat dunia lebih luas. Masa angka kasus narkoba Indonesia lebih tinggi ketimbang indeks membaca masyarakatnya?

Air mata kedua pun menitik, seiring doa bagi negeri. Tuhan, dalam segenap perbedaan yang ada ini, satukanlah kami.

Re: Behind The Scene

Sebetulnya saya ingin berteriak pada Kang Maman ketika beliau mulai berkisah tentang perempuan yang jadi judul novelnya ini, "Oy, Kang!!!! Bukumu yang itu belum kubaca! Jangan spoiler kenapa?!"

Ya. Saya biasanya akan kesal setengah hidup pada orang yang membocorkan cerita dalam buku dan film dari awal sampai akhir. Namun lagi-lagi, Kang Maman adalah sebuah pengecualian.

Kang Maman berkisah soal penolakannya atas tawaran mem-film-kan buku ini. Menurutnya, para sineas itu telah gagal menerjemahkan pesan yang sangat ingin beliau sampaikan terkait Re:

Novel Re: banyak dilirik sineas untuk difilmkan lantaran cerita sensasionalnya. Mengenai kehidupan Re: seorang pelacur lesbian di Ibu Kota dengan segenap lika liku kehidupannya yang kelam. Namun sudah. Sebatas itu saja.

Padahal di mata Kang Maman, Re: yang sekaligus objek penelitian skripsinya itu jelas bukan pelacur biasa. Dia seorang ibu tegar yang memilih mempertahankan bayi dalam kandungannya. Dia ibu yang tak ingin mengotori anaknya dengan keringat pelacurnya, hingga meminta tolong orang lain untuk memelukkan anak itu untuknya. Dia ibu, yang akan melakukan apa saja agar anaknya tak menjalani hidup sama sepertinya.

"Dari rahim perempuan seperti itu, lahir seorang anak perempuan cantik, yang saat dewasa menyandang gelar Doktor dari Universitas di luar negeri," kata Kang Maman. "Re: juga perempuan yang tak pernah menyebut nama aslinya, yang di kemudian hari saya baru tahu kalau nama lengkap Re: ternyata sama dengan nama filsuf muslimah terkenal yang begitu dikagumi ibunya."

Tetes ketiga menggenang, untuk Re: yang merasa hidupnya sangat kotor, sehingga terlalu malu untuk menyandang nama aslinya :  Rabiah Al Adawiyah.

Sepulang dari acara Kang Maman, bak kesetanan, saya hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk menamatkan novel tipis ini. Entah bagaimana, saya melihat diri saya sendiri dalam tokoh Aku. Bagaimana Kang Maman memandang Re: , begitu juga pandangan saya terhadap teman-teman dari komunitas gay yang begitu saya akrabi. Bahwa kita memang tidak bisa melihat dunia sebatas hitam - putih saja, karena ada begitu banyak sudut dan ruang yang terkadang kasat jika tak kita selami sendiri.

Membaca buku ini juga memancing memori saya saat masih jadi kuli tinta hampir sejuta tahun lalu. Ketegangan itu, rasa frustrasi itu, rasa mual itu ... Ah, kok mendadak jadi ingin liputan lagi.

Kembali pada kisah Re: dalam buku ini, saya bisa menyelami kegamangan Re: atas takdir hidupnya atau kerinduannya pada sosok Tuhan. Karena banyak teman-teman saya yang berprofesi sama merasa seperti itu (termasuk teman-teman komunitas LGBT juga). Perasaan manusia-manusia yang kerap merasa seperti sampah ini tertuang dalam salah satu bait di surat panjang Re: di halaman 153,

Adakah surga untuk Re: ?
Adakah surga untuk Re: ?
Ya. Kang Maman, kita sepakat bahwa sebesar-besarnya murka Tuhan, tidak akan pernah melebihi pengampunanNya.

Dan air mata keempat, butirnya menetes di halaman akhir buku Re:

Bagimu yang belum membacanya, biar kuberi tahu.

Seperti kata Kang Maman, buku ini bukan buku tentang pelacur lesbian.

Buku ini adalah sebuah kisah luar biasa tentang kasih ibu.

*

Terima kasih sudah membuat saya menangis, Kang Maman. Dan terima kasih juga, untuk pesan manis ini. Ya, saya akan selalu ingat bahwa "perempuan adalah cahaya". 

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Salam dari Tepian Musi,

Ara Niagara.

Kompal : Kompasianer Palembang
Kompal : Kompasianer Palembang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun