Shiha punya kakak lelaki semata wayang. Mas Arya, begitu dia menyebutnya --atau setidaknya dia ingat pernah memanggil kakaknya demikian--. Keduanya tinggal di Sleman, Yogyakarta semasa kecil dalam pengasuhan Eyang dari pihak ibu. Ibu mereka sendiri sudah lama meninggal sejak Shiha masih kecil.
Shiha berumur empat atau lima tahun ketika ayahnya pulang, dan mendadak membawanya pindah ke Palembang. Anehnya, Arya tidak ikut dan tetap tinggal di Jogja. Shiha tidak tahu mengapa, namun dia menduga  penyebabnya pasti Eyang Uti. Tak banyak memang yang bisa Shiga ingat dari kehidupan singkatnya di Jogja, tapi Shiha ingat persis kalau Arya adalah cucu kesayangan eyang yang selalu diperlakukan bak pangeran mahkota.
Dalam rentang waktu belasan tahun itu, tak pernah satu kali pun Shiha bertemu muka dengan kakaknya. Ayah tak pernah mengajak liburan ke Jogja, begitu pun sebaliknya. Arya sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di Palembang sebelum ini.
Entah mengapa, hal itu sama sekali tak mengganggu Shiha. Sejujurnya dia tak peduli malah. Bahkan di era medsos seperti sekarang, tak sedikit pun dia berkeinginan mencari Arya di facebook atau mem-follow twitter dan instagramnya. Tampaknya Arya pun berpikiran sama. Jika tidak, tentu kakaknya itu akan sering menghubunginya, bukan?
Tapi sudahlah. Shiha tidak mau pusing memikirkan masa lalu, atau hubungan kekerabatan keluarganya yang jauh dari kata lazim itu. Toh, sekarang yang penting kakaknya itu sudah datang. Maka tugasnya sebagai adik adalah menyambut dia dengan sebaik-baiknya.
Namun alangkah kagetnya Shiha ketika melihat sosok pemuda yang duduk di sofa tepat di samping Ayah. Meski sudah mempersiapkan mental dan membayangkan bagaimana rupa sang kakak jauh-jauh hari, tak urung Shiha terkejut juga. Sosok Arya benar-benar jauh dari apa yang ada di kepalanya.
Shiha membayangkan Arya berperawakan mirip ayah. Tinggi, tegap, gagah, dengan garis wajah tegas serta  kulit kecokelatan dan tubuh berisi. Paling-paling yang membedakan hanyalah kumis dan cambang. Jika ayah memelihara semua rambut di wajahnya itu hingga tumbuh lebat, maka kakaknya pasti mencukur mulus semuanya.
Dan Shiha separuh benar. Tak sehelai rambut pun tumbuh di wajah Arya yang semulus porselen antik dari Dinasti Ming itu. Tetapi, alih-alih berbadan tinggi tegap nan gagah seperti dugaannya, Arya adalah pemuda kurus dengan postur tubuh standar yang tak terlalu tinggi. Lalu bukannya berkulit sawo matang, kulit Arya malah benar-benar putih. Putih cerah asli ala orang-orang Asia Timur, dan bukan hasil dempulan make up seperti yang kerap dilakukan teman-teman Shiha yang dancer atau cosplayer . Kecerahan kulit Arya itu tampak kontras dengan rambut hitam legamnya yang dipotong pendek rapi, namun bagian depan agak memanjang yang dibiarkannya jatuh menjuntai menyerupai poni perempuan.
Lalu alis mata tebal itu, bulu mata lentik itu, mata bulat besarnya yang berbinar jernih, juga bibir penuhnya yang kemerahan dan tampak seperti tersenyum ... Ah, Shiha benar-benar kehabisan kata-kata. Dia tidak pernah membayangkan akan bertemu seorang lelaki yang wajahnya berada di ambang kecantikan alami seperti itu. Lebih sulit lagi membayangkan bila lelaki itu sungguh-sungguh adalah kakaknya.
"Shiha ..., duduk kamu," tegur Anwar, ayah Shiha dengan suara baritonnya yang agak serak hingga terkesan seram.
Shiha tergagap, lalu buru-buru duduk. Dia agak malu begitu menyadari kalau dirinya tadi rupanya terlalu lama memandang Arya sampai mulutnya setengah terbuka.