Pak Abu yang menggigit bibirnya, wajahnya berubah pucat, persis seperti anak SMP ketahuan nyimpen komik hentai. Hmm, itu sudah cukup mengonfirmasi bahwa kecurigaan sang gadis benar. Bahwa bakso Pak Abu mengandung babi.
"Cu..,cuma campuran sedikit kok, Dek. Nggak akan jadi masalah...," kata Pak Abu.
"Nggak masalah kalau yang datang ke warung Bapak orang kaya kami. Tapi kita lihat sendiri, Pak. Yang beli rame lho, yang berjilbab banyak juga. Kasihan mereka, Pak. Ini sudah masuk penipuan, Bapak bisa dituntut kalau ketahuan. Kecuali kalau Bapak terang-terangan pasang papan 'Bakso Babi' di depan warung..."
"Jadi Adek ini mau melaporkan saya?"
"Nggak, Pak. Cuma kalau ketahuan FPI, kelar idup l-- ,eh maksudnya kalau ketahuan FPI gawat, Pak. Ntar didemo dan boikot babi kan repot, Pak.... Saya jadi ga bisa makan babi lagi..."
Si gadis tidak tahu apa yang di pikiran Pak Abu hari itu. Namun ketika dia kembali melintas beberapa hari kemudian, warung bakso yang selalu tampak ramai itu sudah tutup. Beberapa bulan kemudian, si gadis dapat rekomendasi dari teman gerejanya, tersebar dari mulut ke mulut 'kalangan sendiri' : ada bakso babi enak di Kampung Hindu di ujung Kota.
Hari ini si gadis berpikir, bahwa toleransi itu bukan hanya sekadar memahami, tapi juga harus mampu peduli. Dia bisa saja memilih diam dan bersikap pura-pura tidak tahu, toh dia tidak rugi sama sekali dengan keberadaan bakso babi. Tapi melihat saudara sesama manusia dibohongi dan dicurangi PAKAI daging babi, maka dia yang bernama toleransi tidak akan pernah sampai hati.
::
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Nulis Semangat Toleransi dan Kerukunan Planet Khentir. Based on true story. Nama tokoh dan lokasi sudah disamarkan.
Jika ada kesamaan, jangan Baper plisssss.....
Attachments area
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H