Lawang Sewu, akhir Agustus 1945
"Puspita San," kata Heiji. "Kelak hanya akan ada seorang anak yang lahir dari rahimmu, seorang putri yang jelita. Namun ketahuilah, dia juga hanya akan memberimu seorang cucu perempuan saja. Cucu itulah yang baru bisa mempersembahkan lelaki pertama dalam garis keturunanmu. Cucumu akan melahirkan banyak anak, dan kau akan berumur cukup panjang untuk menunggui cicit-cicitmu lahir seluruhnya...."
"Heiji San," ujar Puspita dengan nada memperingatkan. Perempuan berkain motif bebungaan yang sudah sangat pudar warnanya itu menatap lelaki di sampingnya dengan pandangan tak suka. "Bukankah sudah kubilang, memperkatakan -apalagi memercayai- ramalan seperti adalah kekejian di mata Tuhan? Berjanjilah, kautak akan mengatakan sesuatu seperti itu lagi di depanku."
"Baiklah, baiklah," Heiji mengalah. "Tapi aku benar-benar berharap cicit lelakimu itu diberi nama Kenichi -Anak laki-laki pertama yang sehat dan kuat-. Bagaimana menurutmu? Nama yang baik, bukan?"
"Ya, Kau benar, Heiji San,” kata Puspita sepakat. Gadis bergelung rapi itu tak bisa menahan terbitnya sebuah senyum di bibirnya. Dia bukannya tertarik dengan apa yang dibicarakan pemuda itu, namun cara Heiji menyampaikannya selalu menimbulkan decak kagum. Meski masih tak bisa menghilangkan aksen patah-per-suku-kata khas Jepang sepenuhnya, penguasaan Bahasa Indonesia Heiji jelas meningkat drastis hanya dalam waktu satu tahun.
Satu tahun, Puspita membatin. Kemana perginya jutaan detik yang terlewat itu? Rasanya baru kemarin dia bertemu lelaki ini. Pertemuan perdana mereka tak terlalu jauh dari tempat ini, Lawang Sewu, sebuah bangunan peninggalan Belanda yang saat itu sudah diduduki Pasukan Jepang.
Puspita, yang kala itu baru masuk Fujinkai, terlihat berseteru dengan seorang prajurit lantaran menolak melakukan Seikerei*). Nyaris saja sebuah tebasan Katana memisahkan kepalanya dari leher jika Heiji tak datang tepat waktu. Heiji, -tentu saja Puspita belum tahu namanya waktu itu-, hanya tampak seperti pemuda Jepang biasa. Namun entah mengapa, Prajurit yang nyaris memenggalnya malah tersungkur ke tanah, bersujud di depan Heiji hingga pakaiannya kotor penuh debu. Prajurit itu tampak gemetar melihat selendang putih berhias kanji semerah darah yang terikat di lengan kiri Heiji.
Barulah, ketika Heiji secara misterius mulai sering menemui Puspita secara berkala dengan alasan belajar Bahasa Indonesia di kemudian hari, identitasnya terungkap. Heiji Immamura, seorang Tai’i-Kempei , alias Kapten Pasukan Kempetai**) yang konon masih punya hubungan darah dengan Hitoshi Immamura***).
Puspita merasa, pribadi Heiji yang lembut dengan garangnya dunia perang adalah sesuatu di luar kuasanya. Sama halnya dengan benih cinta yang tumbuh kian subur setiap kali berdekatan dengan pemuda itu. Padahal Puspita tahu benar, Heiji juga bagian dari tirani yang membuat Tanah Airnya sengsara. Ahh, benar-benar sesuatu di luar kuasanya.
“Heiji San,” kata Puspita lemah. Matanya berkaca memandang barisan truk besar di seberang jalan yang mulai penuh dengan prajurit-prajurit berperawakan mirip Heiji. “Secepat itukah kau pergi?”
“Benar, Puspita San. Kita sudah mendengarnya di radio bukan? Negeriku kini tengah porak poranda akibat bom dari sekutu.”