Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Kartini Juru Selamat Bumi dari Ujung Samudera

20 Juni 2024   15:58 Diperbarui: 20 Juni 2024   16:08 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu sejatinya matahari bersinar lumayan galak. Namun sekumpulan Ibu-Ibu Dasawisma RT 02/RW 01 di Dusun Lenggoksono, Desa Purwodadi, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang ini seolah tak peduli.

Mereka dengan santai duduk di atas terpal sambil memotong-motong sampah-sampah plastik yang sudah dicuci bersih dengan gunting, hingga menjadi persegi seukuran kuku. Tangan mereka begitu cekatan mengumpulkan potongan-potongan kecil sampah plastik itu, lalu dimasukkan ke dalam botol-botol bekas air mineral atau bekas minyak goreng. Setelah satu botol sudah penuh, mereka lanjut mengisi ke botol-botol lainnya.

Sesekali terdengar keluhan dari mulut para Ibu-Ibu itu mengenai sampah plastik yang belum dicuci bersih. Atau mungkin terdengar dendangan lagu dangdut koplo selazimnya masyarakat kabupaten, sambil sesekali tergelak. Kulit-kulit sawo matang mereka sudah mulai berpeluh, sehingga aku tak menyalahkan beberapa di antaranya yang memakai topi.

"Jadi tiap hari Sabtu itu kami Ibu-Ibu Dasawisma memang kumpul di pinggir jalan gini, sambil bawa sampah-sampah plastik dari rumah. Seharusnya lebih pagi tapi mungkin ini karena lagi sibuk masak, ya. Tapi nggak apa-apa, yang penting bisa nambah persediaan ecobrick," cerita Hartining dan Yati bergantian padaku.

Aku terdiam mendengarnya. Ada rasa takjub yang muncul di benakku.

Bagaimana bisa Ibu-Ibu di salah satu dusun paling ujung Kabupaten Malang ini sudah sangat memahami cara daur ulang sampah plastik lewat ecobrick? Sadarkah mereka kalau kegiatan rutin ini membuat mereka menjadi lebih dari sekadar perempuan biasa?

Ya, mereka adalah perempuan pengubah peradaban.

Langkah Kecil Perempuan Lenggoksono Untuk Pembangunan Berkelanjutan Indonesia

Ibu-Ibu Dasawisma di Lenggoksono membuat ecobrick/dokpri
Ibu-Ibu Dasawisma di Lenggoksono membuat ecobrick/dokpri

Secara geografis, Dusun Lenggoksono memang sangat jauh dari pusat Kota Malang. Kalian setidaknya butuh perjalanan darat lebih dari dua jam untuk mencapai kampung ini. Melintasi perbukitan dan jalanan yang tak selamanya beraspal adalah hal-hal yang bakal ditemukan sebelum akhirnya mencapai dusun di ujung Teluk Bowele (Bolu-Bolu, Wedi Awu, Lenggoksono) ini.

Namun dengan segala keterbatasan yang dimiliki, masyarakat Lenggoksono termasuk kaum perempuan, menolak tertinggal. Mereka mungkin tidak memiliki gelar-gelar sarjana di belakang nama panjangnya, atau mengikuti sejumlah seminar mengenai lingkungan. Namun kebiasaan sederhana seperti memilah sampah plastik di dapur dan mengolahnya menjadi ecobrick, tanpa sadar meletakkan para perempuan-perempuan Lenggoksono sebagai generator utama pembangunan berkelanjutan di lingkungannya.

Ecobrick yang sudah dicat ulang dan jadi gerbang rumah/dokpri
Ecobrick yang sudah dicat ulang dan jadi gerbang rumah/dokpri

Dalam penjelasannya, ecobrick yang dibuat oleh Ibu-Ibu Dasawisma ini memiliki bobot yang berbeda mulai dari 2,5 ons sampai 4 ons. Tentunya semakin berat ecobrick yang dihasilkan, maka semakin besar pula beban yang harus ditumpu. Aku bisa menemukan di sepanjang Dusun Lenggoksono itu, tiang-tiang gerbang rumah yang terbuat dari ecobrick atau beberapa properti seperti tempat duduk. Bahkan beberapa sampah plastik didaur ulang juga menjadi handbag maupun dompet yang memiliki nilai ekonomis dan menambah penghasilan.

Tidak berhenti di ecobrick saja, kemampuan para Kartini Lenggoksono ini dalam mengolah sampah di rumah-rumah mereka juga terwujud lewat POC (Pupuk Organik Cair). Untuk POC-nya sendiri, terbuat dari limbah-limbah organik rumah tangga yang sengaja diendapkan dalam wadah-wadah bekas cat. Barulah kemudian setelah 15 hari diendapkan, cairan POC dibawa ke kebun-kebun mereka untuk dijadikan pupuk.

"Karena Lenggoksono ini kan jauh dari pusat Kabupaten Malang, jadi kalau kami harus beli pupuk dulu malah berat di ongkos. Akhirnya ya kami bikin pupuk sendiri lewat POC ini. Baunya memang tidak sedap, tapi sangat bermanfaat buat tanah-tanah kebun," lanjut Hartining bangga.

Lagi-lagi aku terdiam.

Sebuah langkah yang mereka anggap kecil itu justru memberi dampak yang sangat besar bagi Bumi.

Wadah-wadah POC di Lenggoksono/dokpri
Wadah-wadah POC di Lenggoksono/dokpri

Bayangkan berapa banyak BBM untuk kendaraan bermotor yang bisa dihemat dari pengurangan pembelian pupuk kimia di Malang? Jika itu diperhitungkan secara eksponensial dalam waktu satu tahun saja, bukankah hal kecil yang tampak sederhana itu memberikan dampak ke Bumi lantaran mampu mengurangi dampak perubahan iklim?

Ya, di saat kita masyarakat perkotaan masih belum bisa melepas ketergantungan dari sumber-sumber energi fosil, para Ibu-Ibu di Lenggoksono sudah melakukan transisi energi secara sederhana lewat ecobrick dan POC sebagai solusi masalah lingkungan. Hal ini adalah wujud nyata dari Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dimulai pada tahun 2015, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) adalah 17 tujuan global dengan 169 capaian yang terukur dengan tenggat yang ditentukan PBB demi kemakmuran manusia dan Bumi di masa depan.

Di mana 17 tujuan itu adalah tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetaraa gender, air bersih dan sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, industri, inovasi, dan infrastruktur, berkurangnya kesenjangan, kota dan komunitas berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, penanganan perubahan iklim, ekosistem laut, ekosistem daratan, perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, serta kemitraan untuk mencapai tujuan.

Menariknya, kebiasaan Ibu-Ibu Lenggoksono dalam mencegah perubahan iklim ini juga sudah diturunkan pada anak-anak mereka. Sebagai anak-anak yang hidup jauh dari hingar-bingar perkotaan, para bocah Lenggoksono memang masih terbiasa berkumpul untuk melakukan tradisi kesenian lokal. Di saat berkumpul itulah, pemahaman untuk pemilahan sampah dan pentingnya menjaga lingkungan juga ikut dikenalkan sehingga sedari kecil mereka sudah mengerti pentingnya melindungi Bumi.

Anak-anak Lenggoksono masih menggeluti tradisi lokal/dokpri
Anak-anak Lenggoksono masih menggeluti tradisi lokal/dokpri

Aah, mau tak mau apa yang dilakukan para perempuan di Lenggoksono ini mengingatkanku dengan Ibu-Ibu di Waerebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur sana.

Sebagai penduduk desa adat kuno yang berada di lembah tanpa akses internet dan listrik, Ibu-Ibu rumah tangga di Waerebo terbiasa menggunakan panel surya dan 'memanen' matahari untuk sumber listrik mereka. Hidup berdampingan dengan alam sambil menghasilkan kain-kain tenun, mereka merasakan bagaimana Bumi menghantarkan energi listrik lewat matahari.

Sebuah kearifan lokal yang mungkin sulit dirasakan oleh kepongahan masyarakat kota.

Oxfam, Senantiasa Dukung Perempuan Demi Transisi Energi Adil

Melihat apa yang sudah dilakukan perempuan-perempuan Lenggoksono lewat metode pemilahan sampah berkelanjutan yang sudah terjadi dalam waktu lama, memang sangat senada dengan tujuan besar Oxfam dalam mewujudkan transisi energi adil dan merata dari bahan bakar fosil.

Oxfam paham bahwa perempuan pedesaan seperti Ibu-Ibu Darmawangsa di Lenggoksono adalah tulang punggung kualitas dan produktivitas, adaptasi iklim dan ketahanan pangan yang sering terbentur pada akses dan kendali terhadap tanah, sumberdaya, pelatihan, serta modal. Peran mereka dalam hal pembangunan berkelanjutan terwujud melalui ecobrick yang jika diterapkan dalam lingkup lebih luas kan bisa memaksimalkan potensi ekonomi desa.

Seperti halnya kebanyakan penduduk pesisir atau wilayah-wilayah pedalaman, masyarakat Lenggoksono dan Waerebo memang memiliki ancaman yang cukup besar dari perubahan iklim. Usaha pemilahan sampah sampai transisi energi dari bahan baku fosil adalah sebuah arus kecil untuk mendorong riak yang lebih besar demi terwujudnya Bumi yang lebih baik.

Di mana nantinya semua bisa menggelinding secara terarah untuk mewujudkan NZE (Net Zero Emission) 2060.

Jika Ibu-Ibu di Lenggoksono saja bisa berbuat hal kecil untuk Bumi lewat pembangunan berkelanjutan, bagaimana dengan kalian?

Handbag hasil karya perempuan Lenggoksono dari sampah plastik/dokpri
Handbag hasil karya perempuan Lenggoksono dari sampah plastik/dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun