Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Kartini Juru Selamat Bumi dari Ujung Samudera

20 Juni 2024   15:58 Diperbarui: 20 Juni 2024   16:08 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-Ibu Lenggoksono memilah sampah plastik/dokpri

Menariknya, kebiasaan Ibu-Ibu Lenggoksono dalam mencegah perubahan iklim ini juga sudah diturunkan pada anak-anak mereka. Sebagai anak-anak yang hidup jauh dari hingar-bingar perkotaan, para bocah Lenggoksono memang masih terbiasa berkumpul untuk melakukan tradisi kesenian lokal. Di saat berkumpul itulah, pemahaman untuk pemilahan sampah dan pentingnya menjaga lingkungan juga ikut dikenalkan sehingga sedari kecil mereka sudah mengerti pentingnya melindungi Bumi.

Anak-anak Lenggoksono masih menggeluti tradisi lokal/dokpri
Anak-anak Lenggoksono masih menggeluti tradisi lokal/dokpri

Aah, mau tak mau apa yang dilakukan para perempuan di Lenggoksono ini mengingatkanku dengan Ibu-Ibu di Waerebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur sana.

Sebagai penduduk desa adat kuno yang berada di lembah tanpa akses internet dan listrik, Ibu-Ibu rumah tangga di Waerebo terbiasa menggunakan panel surya dan 'memanen' matahari untuk sumber listrik mereka. Hidup berdampingan dengan alam sambil menghasilkan kain-kain tenun, mereka merasakan bagaimana Bumi menghantarkan energi listrik lewat matahari.

Sebuah kearifan lokal yang mungkin sulit dirasakan oleh kepongahan masyarakat kota.

Oxfam, Senantiasa Dukung Perempuan Demi Transisi Energi Adil

Melihat apa yang sudah dilakukan perempuan-perempuan Lenggoksono lewat metode pemilahan sampah berkelanjutan yang sudah terjadi dalam waktu lama, memang sangat senada dengan tujuan besar Oxfam dalam mewujudkan transisi energi adil dan merata dari bahan bakar fosil.

Oxfam paham bahwa perempuan pedesaan seperti Ibu-Ibu Darmawangsa di Lenggoksono adalah tulang punggung kualitas dan produktivitas, adaptasi iklim dan ketahanan pangan yang sering terbentur pada akses dan kendali terhadap tanah, sumberdaya, pelatihan, serta modal. Peran mereka dalam hal pembangunan berkelanjutan terwujud melalui ecobrick yang jika diterapkan dalam lingkup lebih luas kan bisa memaksimalkan potensi ekonomi desa.

Seperti halnya kebanyakan penduduk pesisir atau wilayah-wilayah pedalaman, masyarakat Lenggoksono dan Waerebo memang memiliki ancaman yang cukup besar dari perubahan iklim. Usaha pemilahan sampah sampai transisi energi dari bahan baku fosil adalah sebuah arus kecil untuk mendorong riak yang lebih besar demi terwujudnya Bumi yang lebih baik.

Di mana nantinya semua bisa menggelinding secara terarah untuk mewujudkan NZE (Net Zero Emission) 2060.

Jika Ibu-Ibu di Lenggoksono saja bisa berbuat hal kecil untuk Bumi lewat pembangunan berkelanjutan, bagaimana dengan kalian?

Handbag hasil karya perempuan Lenggoksono dari sampah plastik/dokpri
Handbag hasil karya perempuan Lenggoksono dari sampah plastik/dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun