"Penjajah Belanda masuk ke Malang sekitar tahun 1800-an. Waktu itu di tengah Kota Malang masih berupa hutan yang ditumbuhi tanaman patangtangan. Oleh Belanda, hutan itu dijadikan pusat perdagangan. Kawasan itu kemudian diberi tanda penunjuk arah berbentuk mirip tangan yang terbuat dari kayu, penanda arah itu konon cikal-bakal nama wilayah Kayutangan,"
Aku terdiam mendengarkan penjelasan Indah yang merupakan guide kami di Minggu pagi ini. Lahir dan tumbuh besar sebagai warga Malang, sekalipun aku tak pernah mengetahui seperti apa asal mula nama Kayutangan atau yang dalam ejaan lama disebut sebagai Kajoetangan.
Setahuku, Kayutangan ya hanya sebuah kawasan tempat tinggal penduduk yang berada di tengah Kota Malang. Kedua orangtuaku pernah bercerita kalau di kawasan Kayutangan memang sejak lama ada toko-toko yang konon dulu menjual barang branded.
Namun kini, Kayutangan justru menyerupai wilayah tersohor lainnya seperti Braga di Bandung atau Malioboro di Yogyakarta, dipenuhi oleh coffee shop dan banyak anak-anak muda nongkrong yang semakin ramai di malam hari.
"Nah kalau ini Gereja Paroki Hati Kudus Yesus, salah satu bangunan tertua di Kota Malang. Gereja ini sudah ada sejak 4 Juni 1897, usianya lebih dari 125 tahun. Apa kalian tahu kalau salib di menara kiri gereja ini pernah jatuh karena ditabrak pesawat pada tahun 1967?"
Aku dan peserta walking tour Malang lain mendadak melongo, saling pandang bengong dan kemudian menggeleng menatap Indah.
Indah tersenyum. Paham betul kalau ekspresi seperti ini bukanlah kali pertama yang dia lihat. Memang tak dipungkiri bahwa meski sudah ratusan kali kami melintasi gereja yang ada di ujung jalan Kayutangan ini, belum tentu kami tahu kalau bangunan itu berusia lebih dari seabad dan pernah ambruk!
Setelah sekitar 10 menit beristirahat dan meneguk air mineral di dalam tumblr, aku kemudian berdiri dan mengikuti Indah. Karena setelah ini kami akan memasuki Kampung Kajoetangan Heritage, tujuan utama dari trip yang kuikuti bersama Jelajah Malang ini.
Kajoetangan, Wisata Sejarah Paling Nyaman di Kota Malang

Sebagai seorang traveler blogger, aku memang lebih fokus melakukan perjalanan untuk acara budaya atau menikmati bentang alam yang begitu indah.
Destinasi tujuan yang lebih sering kulakukan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, jika boleh dirata-rata, kebanyakan memang ke Indonesia Timur. Hal ini membuatku sadar kalau aku belum banyak menikmati kota kelahiranku sendiri yakni Malang.
Aku hanya sekadar tahu jika Malang begitu populer dengan kulinernya.
Hingga akhirnya seorang sahabatku mengajak untuk ikut dalam trip wisata di Kota Malang dalam konsep walking tour.
Sesuai dengan namanya, walking tour ini adalah sebuah tur yang bisa dinikmati sambil berjalan kaki dan tentunya ditemani seorang guide yang akan menjelaskan berbagai tempat dan bangunan yang kelak kami singgahi.
Berwisata sambil jalan kaki? Sekaligus belajar sejarah soal kota kelahiranku?
Aku jelas tak berpikir lama, karena aku langsung tertarik untuk mengikuti salah satu agenda Jelajah Malang yakni trip Kajoetangan Heritage.
Berangkat sekitar pukul tujuh pagi dari Alun-Alun Tugu Kota Malang, Indah sang guide langsung memberikanku informasi soal tugu yang sudah sering kulewati sejak SMP itu, karena kebetulan sekolahku ada di dekatnya.
Berkat informasinya, aku baru tahu kalau bangunan yang pernah hancur saat Agresi Militer I tahun 1947 itu ternyata dulu bernama Alun-Alun Bunder.
Enam tahun sejak penghancurannya, Presiden Soekarno membangun kembali bangunan yang ternyata jika diamati lebih lanjut, berbentuk bambu runcing sebagai simbol senjata perlawanan bangsa Indonesia terhadap tentara Belanda.
Melanjutkan perjalanan, aku dan rombongan trip berhenti di depan Wisma Tumapel yang terletak di sebelah barat Balai Kota Malang.
Bangunan yang sempat viral di kalangan masyarakat Malang sebagai bangunan berhantu itu, ternyata adalah gedung asli Hotel Splendid Inn yang sudah berdiri sejak 1928. Yang menarik saat Jepang menjajah Indonesia di tahun 1944, bangunan itu pernah jadi kantor pemerintahan.
Tentu mendengarkan penjelasan Indah jauh membuatku lebih paham daripada harus mencarinya dalam lembaran-lembaran buku.
Namun dari semua tempat yang kusinggahi dalam walking tour Malang kali ini, aku jelas paling terkesan ketika rombongan kami memasuki Kampung Kajoetangan Heritage. Aku baru sadar kalau di tengah Kota Malang itu ada banyak sekali rumah-rumah lawas yang dibangun pada zaman Belanda.

Bahkan di dalam wilayah Kajoetangan Heritage itu terdapat semacam kanal kecil yang membuatku berasa di Eropa. Kalian bisa menemukan ornamen jembatan dan pagar sebagai pembatas antara jalan dengan kali sukun alias sungai kecil yang membelah Kayutangan.
Di satu sisi kanal itu, dipenuhi lukisan mural pada tembok-temboknya, sehingga semakin memperkuat kesan heritage. Aku bisa membayangkan jika melintasi kanal itu malam hari, dihiasi lampu-lampu jadul, tentu benar-benar seperti di Eropa.
Mau tak mau aku memang seolah-olah menaiki mesin waktu.
Dan perjalanan kami pun berakhir sekitar pukul sembilan pagi. Melepas lelah, Jelajah Malang mengajak kami ke kedai kopi Mbah Ndut Kayutangan yang memang berkonsep jadul.
Setelah berbagai bangunan art deco yang tersaji penuh masa lalu, bersantai di kedai kopi ini dengan sajian otentik zaman dahulu, membuatku seperti bisa merasakan bagaimana bangsawan Belanda di masa lalu menghabiskan waktunya.
Kurasa, aku akan ikut trip walking tour Malang lagi karena kota kelahiranku ini masih memiliki banyak sekali cerita yang harus kunikmati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI