Hampir 160 ribu pasang kaki menjejak di Stasiun Manggarai setiap harinya. Langkah-langkah itu adalah bukti betapa kuat manusia ingin mencari kehidupan. Meski dihantam jahatnya udara ibukota dengan matahari yang mengamuk atau polusi yang mengebul, kaki-kaki itu akan tetap setia melintasi Manggarai. Berlari di lorong-lorong dan anak tangganya, naik-turun di setiap gerbong seolah menantang hukum rimba di belantara Jakarta.
***
Aku tersenyum sendiri, kalau diingat-ingat sebetulnya sungguh memalukan.
Sebagai anak daerah yang berasal dari Kabupaten Malang, Ibukota Jakarta memang selalu punya magnet yang begitu luar biasa untuk memikat. Salah satunya adalah bagaimana terintegrasinya transportasi umum bahkan sejak aku turun dari pesawat.
Terakhir kali aku singgah di Jakarta adalah sebuah pertemuan singkat di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) saat transit penerbangan dari Malang menuju Padang pada tahun 2016. Sebelum itu, setiap kali aku tiba di Soetta, aku akan menggunakan armada taksi maupun Damri menuju Jakarta. Namun ketika aku kembali lagi ke Jakarta pada September 2022 silam, aku memilih untuk menggunakan Commuter Line Basoetta.
Rencanaku terbilang cukup rapi karena aku akan akan berhenti di Stasiun BNI City dari Bandara Soetta, sebelum akhirnya berjalan ke Stasiun Sudirman untuk menaiki KRL Commuter Line Cikarang menuju Stasiun Manggarai. Baru setelahnya aku akan berpindah gerbong dan memilih KRL Commuter Line Bogor yang bakal membawaku ke Stasiun Cikini, sebelum akhirnya aku tiba di tujuanku, IKJ (Institut Kesenian Jakarta).
Berbekal informasi dari rekan-rekanku yang hidup di Jakarta, aku langsung berjalan menuju Stasiun KA Bandara yang terletak di antara Terminal 1 dan Terminal 2 setelah turun dari pesawat. Karena ini adalah pertama kalinya aku naik Commuter Line Basoetta, aku memilih membeli tiket tujuan Stasiun BNI City lewat vending machine ticket.
Sedikit terburu-buru karena ternyata keretaku akan berangkat dua menit lagi, sehingga aku berlari sambil membawa ransel daypack di punggung setelah memperoleh tiket menuju peron. Ya, bepergian secara backpacker memang jauh lebih membuatku nyaman daripada harus mendorong koper.
Hal pertama yang kurasakan saat sudah duduk di salah satu gerbong Commuter Line Basoetta adalah kereta ini sangat mengingatkanku dengan MRT di Singapura yang pernah begitu kukagumi itu. Bersih, rapi, luas, nyaman dan benar-benar tepat waktu. Hanya butuh waktu 46 menit saja, aku pun sudah tiba di Stasiun BNI City di Jakarta Pusat dari Bandara Soetta di Banten. Sebelum berjalan menuju Stasiun Sudirman, aku memilih duduk pada salah satu kursi untuk mengisi kartu e-money lewat aplikasi mobile banking di ponselku.
Ya, perpindahan menuju KRL Commuter Line Cikarang mengharuskanku memiliki saldo pada kartu e-money.
Agar bisa naik KRL Commuter Line, kalian tinggal melakukan tap-in kartu e-money pada mesin pembaca kartu di gate stasiun untuk masuk ke dalam peron. Saat itu aku cukup kaget karena tarif KRL sangatlah terjangkau yakni Rp3.000 untuk 25 kilometer pertama dan kemudian dihitung Rp1.000 setiap 10 kilometer berikutnya. Seorang petugas memberitahuku untuk menanti di salah satu jalur di mana KRL Commuter Line Cikarang menuju Stasiun Manggarai akan tiba.
Dan saat itulah, aku membaur dengan mereka.
Mereka yang selama ini hanya kulihat di media.
Para pejuang ibukota yang mungkin setengah dari 24 jam kehidupannya setiap hari, habis di gerbong-gerbong KAI Commuter.
Kulirik smartwatch di pergelangan tangan kananku, sudah memasuki jam makan siang. Aku tak menyalahkan kalau gerbong KRL yang kunaiki memang cukup penuh, meskipun aku masih bisa memperoleh tempat duduk. Hanya tujuh menit lamanya, kereta ini mulai mengurangi kecepatannya dan sampai di Stasiun Manggarai.
Apa yang membuatku cukup terkejut ketika tiba di Stasiun Manggarai adalah bagaimana para penumpang KAI Commuter ini semakin mempercepat langkah mereka. Ada yang langsung berpindah peron dan menanti kereta-kereta lain, tapi ada juga yang memilih keluar dari stasiun dengan ponsel-ponsel di telinga untuk membuat janji pada para driver online yang menjemput, atau ada juga yang memilih duduk atau menyandarkan diri mereka sejenak untuk menarik napas yang terdengar begitu lelah.
"Baru pertama kali ke Manggarai, ya? Untung pas jam makan siang. Kalau mau uji nyali, coba pas jam sore atau pagi,"
Kutolehkan kepalaku, seorang petugas Stasiun Manggarai tersenyum lebar. Sepertinya sangat paham kalau aku memang bukan pengunjung rutin stasiun ini.
KAI Commuter Line, Perpanjang Mimpi, Perpanjang Usia Bumi
Satu rangkaian KRL terdiri dari 8 hingga 12 kereta dengan kapasitas maksimal 3.000 penumpang. Dengan demikian, satu rangkaian KRL tersebut mampu menggantikan penggunaan 428 mobil pribadi dan 1.500 sepeda motor -- Republika, Juni 2023
***
Juli 2023 kemarin, aku kembali berkesempatan untuk ke Jakarta.Â
Menginap di sebuah hotel di kawasan Blok M, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mencoba menaiki KAI Commuter di pagi hari, saat jam-jam sibuk itu terjadi.
Berjalan dari hotel ke Stasiun Blok M, aku memulai perjalananku dengan menikmati MRT Lin Utara-Selatan. Sama seperti saat naik KRL Commuter Line, aku hanya tinggal melakukan tap-in kartu e-money di gate untuk bisa memasuki area stasiun. Sebelumnya aku memang sempat mengecek saldo kartu e-money lewat fitur NFC pada ponsel dan ternyata masih terbilang cukup untuk membiayai perjalananku.
Tak langsung ke Manggarai, aku memilih jalur selatan terlebih dulu yakni di titik paling ujung MRT Lin Utara-Selatan, Stasiun Lebak Bulus. Cukup menyenangkan berada di Stasiun Lebak Bulus karena di tempat ini, sinar matahari terbit terlihat luar biasa cantik dengan latar belakang gedung-gedung perkantoran. Setelah melakukan tap kartu e-money di gate out dan masuk lagi di gate in, akupun langsung berpindah peron untuk menuju arah utara yakni Stasiun Dukuh Atas.
Seperti yang bisa kutebak, naik MRT di jam-jam pagi memang membuatku bergabung dengan para pekerja ibukota. Jumlah mereka bahkan meningkat hingga cukup berdesakan mulai dari Stasiun Fatmawati, Stasiun Cipete Raya, Stasiun Haji Nawi dan Stasiun Blok A. Aku cukup beruntung sudah memperoleh tempat duduk, karena kulihat banyak lagi orang-orang seumuranku yang harus rela berdiri di tengah himpitan penumpang sambil membawa tas-tas kerja mereka.
Barulah saat MRT meninggalkan Stasiun ASEAN, para penumpang mulai turun di tempat tujuan mereka hingga akhirnya yang terbanyak di Stasiun Bendungan Hilir. Aku memilih turun di Stasiun Dukuh Atas karena selain akan melanjutkan perjalanan ke KRL Commuter Line menuju Stasiun Manggarai, aku juga ingin mencari sarapan di sekitar Stasiun Sudirman.
Sekitar pukul setengah delapan pagi, aku akhirnya tiba di Stasiun Manggarai.
Kalau kalian pernah menonton film TRAIN TO BUSAN (2016) di mana Seok Woo yang diperankan oleh Gong Yoo berlarian di stasiun demi menghindari kejaran para zombie, mungkin itulah pemandangan yang kulihat di hari Jumat pagi itu di Stasiun Manggarai. Ya, lautan manusia saling berhimpitan keluar dari setiap gerbong-gerbong kereta, berjalan dengan langkah cepat di setiap sudut stasiun.
Kaki-kaki mereka sangat cekatan menaiki dan menuruni tangga, lalu berbaris tanpa aba-aba menanti kereta tiba. Saat gerbong-gerbong KAI Commuter yang dinanti itu telah berhenti di peron, mereka kembali berebut untuk masuk. Bahkan meskipun tampak sudah hampir penuh, sebuah usaha yang terbilang cukup nekat dilakukan beberapa orang untuk berlari menjejalkan tubuh sebelum akhirnya pintu gerbong tertutup otomatis.
Mau tak mau, aku hanya bisa takjub melihat para penakluk ibukota ini.
Kesibukan Stasiun Manggarai jelas tak bisa dibandingkan dengan Stasiun Kota Baru di Kota Malang.
Bahkan menurut Djoko Setijowarno selaku pengamat transportasi seperti dilansir Liputan6, Stasiun Manggarai memperkuat status Jakarta sebagai kota metropolitan dunia. Ditetapkan sebagai pusat integrasi kereta api pertama di Indonesia, Manggarai memang masih terus bersolek untuk para penumpang KAI Commuter.
Namun tak banyak yang tahu bahwa ratusan ribu orang yang singgah di Stasiun Manggarai setiap harinya adalah para agen lingkungan. Ya, keputusan mereka untuk memilih berangkat kerja, berangkat sekolah atau sekadar berpindah lokasi dengan KAI Commuter adalah sebuah upaya tanpa sadar yang berdampak ke keselamatan Bumi.
Kalian tentu tahu bahwa pada bulan Juli-Agustus 2023 kemarin, Jakarta tengah disorot habis-habisan karena kualitas udaranya yang sangat buruk. Bahkan dengan polutan PM2.5, setiap orang di Jakarta pada tahun 2023 ini rata-rata mendapat paparan polusi udara setara merokok 2,2 batang per hari, seperti dilansir Katadata.
Buruknya kondisi udara Jakarta itu menuru Jalal yang adalah seorang Sustainable Provocateur, disebabkan oleh tiga sektor utama yakni industri, PLTU dan transportasi. Penggunaan kendaraan umum seperti KAI Commuter adalah upaya yang tepat untuk menekan emisi sektor transportasi. Memberikan manfaat keberlanjutan, KAI Commuter saat ini terutama yang beroperasi di Jakarta seperti KRL, Commuter Line Basoetta, MRT dan LRT sudah menggunakan tenaga listrik yang tentunya emisi karbon jauh lebih rendah daripada kendaraan pribadi.
Jika kesadaran untuk beralih ke transportasi umum ini semakin tinggi, kebutuhan akan bahan bakar fosil akan berkurang dengan drastis, dan bukan tak mungkin selimut polusi di udara bisa terkikis.
Tentu sebuah kebanggaan sendiri bagi mereka yang selalu melintas di tengah hiruk-pikuk Stasiun Manggarai, bahwa pilihan untuk naik-turun gerbong KAI Commuter tak hanya sebuah perjuangan mewujudkan mimpi, tapi juga memelihara Bumi.
Sebuah cerita indah yang terangkai dari padatnya Manggarai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H