Kalau kalian bertanya padaku, mana yang lebih kusukai antara pantai atau gunung, maka aku akan cepat menjawabnya sebagai gunung. Alasan utama adalah karena aku sejak lahir dan tinggal saat ini di dataran tinggi, membuatku tubuhku lebih mampu beradaptasi dengan cuaca pegunungan yang dingin daripada panas yang ditawarkan pantai.
Meskipun begitu, aku bukanlah orang yang alergi terhadap pantai.
Pantai adalah gerbang menuju samudera. Sebuah bentang alam yang konon katanya menjadi kampung halaman dari makhluk hidup di Bumi. Aah, aku jadi ingat dengan teori evolusi biokimia yang pernah diungkapkan oleh ilmuwan Rusia bernama Alexander Ivanovich Oparin. Dalam bukunya yang berjudul The Origin of Life, Oparin menyebutkan kalau kehidupan berasal dari laut.
Terlepas dari pro-kontra teorinya itu, laut memang memilliki daya magis yang tidak dipunyai oleh gunung sekalipun.
Bisa berdiam diri, duduk di pasirnya sambil mendengarkan deburan ombak adalah ketenangan yang hanya dapat ditemukan di pantai.
Hanya saja menemukan pantai seperti itu di Indonesia mungkin tidak mudah. Karena hampir seluruh pantai wisata di Indonesia sudah dipenuhi oleh para pelancong sehingga kadang kehilangan keindahan alaminya.
Lantas adakah pantai yang terasa sepi tapi juga punya keindahan luar biasa?
Aku menemukannya di Lihaga.
Kedatanganku ke Lihaga terjadi saat aku diundang oleh Kemenparekraf bersama sembilan Kompasianer di seluruh Indonesia untuk berkunjung ke DSP (Destinasi Super Prioritas) Likupang di Sulawesi Utara pada Maret 2022 silam. Aku yang belum pernah berpijak di bumi Celebes bagian paling utara ini pun sangat beruntung bisa singgah di salah satu surga yang dimiliki oleh Likupang yakni Pulau Lihaga.