"Ini tahun pertama kita nggak dapet jatah kue keringnya mak e (nenek), ya?"
Aku mengangguk sambil menata beberapa kue kering yang kubeli random dari teman-temanku. Bisa dibilang ini adalah tahun pertama aku memesan kue kering. Ibuku yang duduk di salah satu kursi di meja makan menatap satu-persatu toples kue yang terasa asing baginya.
Ada kastengel, nastar, sagu keju, bola cokelat dan putri salju di meja makan kami. Jujur, kalau ditanya mana yang terenak, aku akan menjawab bola cokelat atau kastengel karena aku suka cokelat dan keju.
Selain itu? Aku buta rasanya.
Aku tidak bercanda. Karena  memang selama bertahun-tahun merayakan Idulfitri, tak pernah sekalipun keluarga besar kami membeli kue kering.
Nenekku pasti akan membuat kue kering dalam porsi yang luar biasa besar untuk anak, menantu dan cucu-cucunya.
Aku masih ingat bagaimana nenekku s setiap pekan kedua Ramadan, langsung berbelanja telur, tepung terigu, gula dan aneka kebutuhan membuat kue dalam jumlah besar. Sepekan sebelum Idulfitri, proses membuat kue kering akan dimulai. Sebagai ritual tahunan, anak, menantu dan cucu-cucu perempuan yang sudah cukup dewasa akan membantu.
Hasil dari kegiatan itu akan menghasilkan lebih dari lima toples kaca berukuran satu kilogram kue kering.Â
Sebuah porsi yang baru akan habis saat Iduladha.
Ini belum ditambah membuat belasan bolu marmer, menjadikan kami sekeluarga besar tak pernah kekurangan persediaan kue kering aneka rasa di meja saat Lebaran.
Namun sejak tahun 2014, semua berubah.
Kematian nenekku di tahun 2013, menjadikan kue kering legendaris keluarga kami pun hilang untuk selama-lamanya.
Putri Salju, si Cantik yang Tak Pernah Absen
"Lho kue ini sukaannya nenek. Biasanya beli porsi kecil di pasar besar. Dari dulu orangnya pengen bisa bikin tapi gagal terus,"
Penjelasan kakek membuatku kaget. Kakek yang meninggal dunia dua tahun sejak perginya nenek, jelas menjadi satu-satunya saksi hidup yang dapat menceritakan kegemaran beliau.
Kulihat kakek mengambil lagi beberapa keping putri salju, tampak lahap. Aku tersenyum, setidaknya aku bisa memberikan sesuatu yang membuatnya teringat akan mendiang nenek.
Penasaran, kuambil satu keping putri salju yang baru pertama kali kubeli itu. Berbentuk bulan sabit, kue itu terasa sangat lembut saat kugigit. Paduan manis, gurih dan dingin gulanya, membuatku terpikat di kali pertama.
"Pantes aja nenek suka, lembut banget gini. Nggak pernah bilang sih kalau beliau suka,"
Kakek tersenyum menatapku sambil terus menyantap putri salju.
"Katanya kalau nanti bilang suka, cucunya nggak mau lagi makan kue buatannya soalnya kalah enak,"
Ibu yang duduk di depanku tertawa. Tepat saat itu pintu terbuka, Ayahku masuk rumah bersama adikku yang baru saja dijemput di sekolah. Adikku yang masih duduk di kelas 1 SMP langsung berlari ke meja makan dan melihat tumpukan kue kering dengan senang.
Tampaknya, keluarga kami punya kue favorit baru saat Lebaran.
Dan seperti itulah aku berkenalan dengan putri salju.
Kini 10 tahun sudah, putri salju tak pernah absen dalam Lebaran keluarga kami. Kakek sudah delapan tahun pergi, tapi setiap kami menyantap kue yang konon berasal dari Austria itu, aku seolah mendengar suara kakek bercerita tentang istrinya.
Ya, apa kalian tahu kalau kue yang sampai membuat kakakku enggan berhenti menyantap ini diyakini berasal dari Eropa?
Konon di Austria sana, ada kue berukuran kecil berbentuk bulan sabit dan ditaburi gula halus, bernama vanillekipferl. Hanya saja adonan vanillekipferl lebih terasa vanilla, berbeda dengan putri salju yang kita kenal di Indonesia. Kendati demikian, saat ini putri salju juga banyak yang berbentuk bulat dan adonannya diberi rasa cokelat hingga matcha.
Aah, tampilan dan rasanya memang berubah seiring zaman.
Namun kue putri salju akan terus membawa kenangan baru bagi kami sekeluarga. Dan itu sudah terjadi selama 10 tahun terakhir, sampai selama-lamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI