"Ini tahun pertama kita nggak dapet jatah kue keringnya mak e (nenek), ya?"
Aku mengangguk sambil menata beberapa kue kering yang kubeli random dari teman-temanku. Bisa dibilang ini adalah tahun pertama aku memesan kue kering. Ibuku yang duduk di salah satu kursi di meja makan menatap satu-persatu toples kue yang terasa asing baginya.
Ada kastengel, nastar, sagu keju, bola cokelat dan putri salju di meja makan kami. Jujur, kalau ditanya mana yang terenak, aku akan menjawab bola cokelat atau kastengel karena aku suka cokelat dan keju.
Selain itu? Aku buta rasanya.
Aku tidak bercanda. Karena  memang selama bertahun-tahun merayakan Idulfitri, tak pernah sekalipun keluarga besar kami membeli kue kering.
Nenekku pasti akan membuat kue kering dalam porsi yang luar biasa besar untuk anak, menantu dan cucu-cucunya.
Aku masih ingat bagaimana nenekku s setiap pekan kedua Ramadan, langsung berbelanja telur, tepung terigu, gula dan aneka kebutuhan membuat kue dalam jumlah besar. Sepekan sebelum Idulfitri, proses membuat kue kering akan dimulai. Sebagai ritual tahunan, anak, menantu dan cucu-cucu perempuan yang sudah cukup dewasa akan membantu.
Hasil dari kegiatan itu akan menghasilkan lebih dari lima toples kaca berukuran satu kilogram kue kering.Â
Sebuah porsi yang baru akan habis saat Iduladha.
Ini belum ditambah membuat belasan bolu marmer, menjadikan kami sekeluarga besar tak pernah kekurangan persediaan kue kering aneka rasa di meja saat Lebaran.