Tak disangka, tradisi kembul yang pertama kami lakukan justru menuai banyak cerita seru. Mulai dari berebut kol goreng, sambal, kremesan bebek hingga sikut-sikutan mengambil krupuk.
Sebuah bukti betapa kebahagiaan tak perlu dibayar dengan harga mahal. Karena santapan berbuka itu tidak sampai 30 ribu rupiah per porsi.
Bahkan untuk urusan takjil kami memperolehnya dengan gratis. Karena seorang temanku meramu susu UHT dengan potongan buah segar yang menjadikann santapan pencuci mulut menyegarkan.
"Besok-besok kayaknya kita bisa nih makan bareng lagi. Tapi nggak perlu bawa tongkat ya kamu, buruan sehat dan bisa jalan kaki sendiri,"
Aku tersenyum sambil mengangguk mendengar ucapan rekanku. Teringat pada sebuah kalimat di awal persahabatan kami belasan tahun lalu saat SMA. Saat itu kami yang muda dan berbahaya sempat mengandaikan jika persahabatan kita without wax.
Apa maksudnya?
Jadi di peradaban Eropa dulu, ada banyak seniman patung yang menggunakan lilin atau wax untuk menutupi retak maupun kekurangan dari karya mereka. Karya yang ditambal dengan lilin jelas terlihat sempurna, tapi itu adalah kesempurnaan palsu.
Sehingga jika sebuah hubungan dijalankan tanpa lilin alias without wax, itu adalah sebuah hubungan yang murni, tanpa dibuat-buat
Bisakah persahabatan kami terus seperti itu? Semoga. Kuharap setiap dari kami memang menjalani kebersamaan itu tanpa lilin.
Â