"Ayo bangun dulu, Rai. Sahur dulu. Itu udah kubikinin kentang sama sarden, ada susu Dancow juga,"
Suara rekanku sayup-sayup terdengar menembus telingaku yang tertutup topi beanie. Kutarik smartwatch di pergelangan tangan kananku, sekarang pukul 03.05 WIB.
Beberapa temanku yang lain tampak mulai keluar dari sleeping bag dan menggeliat sesaat. Terlihat betul begitu malas lantaran harus bangun padahal kami baru terlelap sekitar pukul 00.43 WIB, tapi tak ada pilihan. Setelah bengong sejenak, akupun mengikuti langkah mereka keluar dari tenda tempat kami tidur, sambil menyalakan headlamp.
Tepat saat aku melangkah keluar dari pintu tenda, angin berhembus dengan sangat kencang. Aku tak menduga kalau angin akan sangat dingin di Puncak Bayangan ini. Kulirik rekan-rekanku yang semakin erat membungkus tubuhnya dengan jaket-jaket gunung tebal, tampak sama kedinginan.
"Habis sahur nggak usah tidur, kita lihat sunrise aja. Tuh di depan kita Arjuno-Welirang, kayaknya bakal terang. Nanti baru sekitar jam enam kita naik ke Pawitra,"
Otus, team leader kami memberikan penjelasan di sela santap sahur. Kualihkan pandangan ke belakang tenda, tampak Puncak Penanggungan setinggi 1.653 mdpl berdiri kokoh dalam gelap. Pawitra namanya yang berarti kabut karena konon puncak Penanggungan ini memang selalu dipenuhi kabut.
Sembari menjejalkan kentang-kentang rebus dan daging sarden ke mulut, aku bergumam.
"Dua jam ya sampe puncak? Kuat nggak tuh? Kita puasa nih,"
Aku menatap rekan-rekanku yang sebagian wajahnya mengantuk. Kami saling mengangkat bahu dan tertawa. Kualihkan pandanganku ke bawah sana, Kabupaten Pasuruan mulai menggeliat saat lampu-lampu menyala dengan cantiknya.
Tak setiap hari kita bisa sahur dengan pemandangan di ketinggian 1.200 mdpl, kan?
Seperti yang direncanakan, kami menanti imsak sambil saling duduk berdempetan menahan kencangnya angin Puncak Bayangan. Adzan Subuh berkumandang, ibadah dilakukan dan tak lama semburat oranye menyobek langit malam. Dari tempat kami berada, Semeru menatap dengan angkuhnya di kejauhan.
Tepat pukul enam pagi, kami perlahan berjalan mendaki lereng menuju Pawitra. Tak semudah yang kami kira karena kemiringannya cukup tajam. Di saat dahaga benar-benar membuatku kehilangan akal ingin membatalkan puasa, Pawitra menyapaku.
Aku sudah tiba di 1.653 mdpl.
Mendaki Gunung, Dulu Dibenci Kini Dinanti
Sebetulnya melakukan hobi mendaki gunung saat puasa Ramadan bisa dibilang sebagai tindakan nekat. Dalam kondisi normal saja aku butuh banyak minum, ini berpuasa. Apalagi gunung yang kami pilih pun Penanggungan, tidak terlalu landai.
Bahkan beberapa orang menyebut Penanggungan sebagai miniatur Semeru, sang Atap Pulau Jawa.
Kami berangkat dari Malang sekitar pukul empat sore dengan sepeda motor. Ibuku sempat cemas karena pendakian dilakukan di bulan Ramadan, tapi aku meyakinkannya akan tetap kuat. Setelah melakukan perjalanan darat, kami pun mampir di rumah kerabat temanku di daerah Kabupaten Mojokerto untuk berbuka puasa, istirahat, serta melakukan ibadah.
Baru sekitar pukul sembilan malam, kami tiba di basecamp Tamiajeng. Mendaki di malam hari memang lebih kusukai karena tidak panas, apalagi sedang dalam kondisi puasa. Sekitar tiga jam lamanya, pendakian super santai (sampai aku mengantuk), membawa kami tiba di Puncak Bayangan Penanggungan.
Lucu memang kalau diingat-ingat, aku sampai nekat mendaki di bulan Ramadan. Padahal aku saat lebih muda, sama sekali tak suka naik gunung. Ketika masih sekolah, aku selalu mencibir teman-temanku yang masuk organisasi pecinta alam. Para pencari lelah kalau kataku.
Orang normal macam apa yang rela mendaki gunung berjam-jam, dengan perlengkapan terbatas, berlelah dan membuat lemas otot, padahal rebahan di kamar sambil nonton jauh lebih menyenangkan.
Namun, itu semu berubah saat aku diajak mendaki Panderman di Batu untuk kali pertama.
Gunung membuatku jatuh cinta dengan alam. Alam membuatku lebih memahami Sang Maha Penguasa. Dzat Terhebat di alam semesta yang sanggup menciptakan bentang seindah gunung.
Memang benar, menemui Tuhan bisa di mana saja. Tapi saat mencumbu puncak dan merapalkan kalimat pujian, aku tahu, kalau Allah SWT benar-benar ada di dekatku.
Ini bukan sekadar hobi biasa dan aku sangat menikmatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H