Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengecap Rasa Toleransi Lewat Sop Iga Babi dan Opor Ayam

5 April 2023   21:28 Diperbarui: 5 April 2023   21:39 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
poster film 'WEI' (2016)

"Di bulan suci ini kita harus saling memaafkan,"

"Bulan sucinya siapa? Bulan sucinya Cina bukan sekarang,"

"Tapi orang Cina bisa memaafkan, kan?"

Dialog antara Li (Kevin Reynard) muda dan sang istri (Marlinda Liang) itu sukses membuatku mengeluarkan air mata. Aku tak tahu apakah karena kalimat yang keluar dari dialog itu memang sangat menyentuh batinku, atau akting mendiang Hengky Solaiman sebagai Li tua saat mengingat kenangan bersama mendiang istrinya itu benar-benar luar biasa.

Ya, dalam film berdurasi 21 menit karya Samuel Rustandi itu, Hengky memang bisa dibilang tampil dengan menunjukkan kelasnya sebagai salah satu aktor legendaris Indonesia. Bayangkan saja, Samuel yang juga mengambil porsi sebagai penulis skenario sama sekali tak memberikan dialog untuk karakter Li yang diperankan oleh Hengky.

Hanya melalui ekspresi di wajah dan gestur tubuhnya, Hengky menceritakan film pendek ini dan hasilnya sama sekali tidak gagal menyentuh hati penonton.

Bahkan bisa dibilang, WEI adalah salah satu film pendek Indonesia favoritku. Terutama di hari-hari Ramadan seperti ini, aku sering merekomendasikan film yang tayang di platform Vidsee ini kepada teman-temanku. Bagiku, film rilisan tahun 2016 ini memotret sebuah makna toleransi yang sesungguhnya, tanpa banyak bicara, tanpa banyak berkotbah.

Bisa dibilang, genre religi sebetulnya bukanlah genre film yang kusuka, apalagi di Indonesia. Mayoritas film Indonesia yang mengambil genre ini terlalu sering berceramah, dengan karakter yang digambarkan begitu klise dalam memandang baik buruk kehidupan. Namun kalau disuruh memilih, mungkin film religi Indonesia yang kusukai adalah TANDA TANYA (2011) dan MENCARI HILAL (2015).

Padahal, film sebetulnya tidaklah harus wajib membawa pesan moral mengenai kebajikan. Film, sudah seharusnya memotret apa yang terjadi di masyarakat dan dibawa ke medium sinematik. Di mana penonton yang akan bisa menentukan berdasarkan pengalaman mereka menonton masing-masing, apakah film itu membawa cerita yang baik atau buruk nantinya.

Dan WEI berhasil memenuhi apa yang kuinginkan.

Tanpa Dialog Tokoh Utama, 'WEI' Berteriak Soal Toleransi


Kisah dalam WEI fokus pada Li, seorang pemilik restoran bak kut teh (sop iga babi) yang harus menerima putri tunggalnya, Mei (Dayu Wijanto) berpindah agama menjadi Islam. Sebagai seorang Tionghoa dan pemeluk agama konghucu yang taat, Li jelas tak bisa menerima keputusan Mei menjadi mualaf. Hal ini diperlihatkan dengan kiriman opor ayam yang selalu dibawakan Mei ke restoran Li saat jelang berbuka puasa Ramadan, yang enggan dia lihat apalagi dimakan.

Setiap kali ada Mei datang ke restorannya dan menunggu di salah satu sudut meja sembari dikelilingi pelanggan yang menyantap sop iga babi dengan lahap, Li tidak pernah peduli. Baginya, Mei mungkin bukanlah anaknya lagi ketika dia memilih berpindah keyakinan.

Tentu saja Samuel dengan cermat membingkai kesepian dan kekecewaan Li dalam sudut yang begitu bercerita dan membuat sinematografi WEI hadir luar biasa cantik.

Dia mempercayakan Hengky untuk meluapkan ekspresinya, bahkan tanpa dialog. Hanya dari tatapan matanya, kita tahu seperti apa keengganan Li untuk menemui Mei. Begitu juga dari gerak-geriknya yang antusias  memasak bak kut teh atau sembahyang di depan altar istrinya, kita tahu betapa Li sangat menjunjung tinggi tradisi Tionghoa.

Hingga sampai di adegan klimaks, aku tanpa sadar turut merasakan kepedihan Li.

keseharian Li (Hengky Solaiman) memasak bak kut teh (sop iga babi)
keseharian Li (Hengky Solaiman) memasak bak kut teh (sop iga babi)

Lagi-lagi, Samuel enggan memberikan dialog yang terlalu banyak meluapkan pembenaran akan salah satu agama. Justru melalui WEI, kita diajak memahami Li tapi juga mendukung Mei di saat yang sama. Sebuah paradoks yang memang sudah seharusnya lahir dari film-film bernapas religi, karena mengedepankan batin manusia dengan Sang Kuasa.

Hingga akhirnya sampai di bagian ending pun, Samuel juga tak mau memberikan jawaban yang pasti. Dia membiarkan penonton bergumam sendiri apakah Li akhirnya menerima Mei dan keluarga kecilnya atau tidak.

Yang pasti bagi masyarakat Tionghoa, memberikan makan dan tidak menutup pintu rumah saat seseorang yang kita benci itu hadir, adalah sebuah penerimaan tertinggi. Dan Li, menunjukkan itu sebagai tanda dia sudah berdamai pada ketetapan Tuhan.

Bisakah kita seperti Li?

Tak banyak bicara soal toleransi beragama tapi menyuarakan dalam kesunyian tindakan?

Semoga, kita menjadi sebaik-baiknya umat yang selalu bisa menghargai.

'Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku' (QS. Al-Kafirun 6)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun