Kisah dalam WEI fokus pada Li, seorang pemilik restoran bak kut teh (sop iga babi) yang harus menerima putri tunggalnya, Mei (Dayu Wijanto) berpindah agama menjadi Islam. Sebagai seorang Tionghoa dan pemeluk agama konghucu yang taat, Li jelas tak bisa menerima keputusan Mei menjadi mualaf. Hal ini diperlihatkan dengan kiriman opor ayam yang selalu dibawakan Mei ke restoran Li saat jelang berbuka puasa Ramadan, yang enggan dia lihat apalagi dimakan.
Setiap kali ada Mei datang ke restorannya dan menunggu di salah satu sudut meja sembari dikelilingi pelanggan yang menyantap sop iga babi dengan lahap, Li tidak pernah peduli. Baginya, Mei mungkin bukanlah anaknya lagi ketika dia memilih berpindah keyakinan.
Tentu saja Samuel dengan cermat membingkai kesepian dan kekecewaan Li dalam sudut yang begitu bercerita dan membuat sinematografi WEI hadir luar biasa cantik.
Dia mempercayakan Hengky untuk meluapkan ekspresinya, bahkan tanpa dialog. Hanya dari tatapan matanya, kita tahu seperti apa keengganan Li untuk menemui Mei. Begitu juga dari gerak-geriknya yang antusias  memasak bak kut teh atau sembahyang di depan altar istrinya, kita tahu betapa Li sangat menjunjung tinggi tradisi Tionghoa.
Hingga sampai di adegan klimaks, aku tanpa sadar turut merasakan kepedihan Li.
Lagi-lagi, Samuel enggan memberikan dialog yang terlalu banyak meluapkan pembenaran akan salah satu agama. Justru melalui WEI, kita diajak memahami Li tapi juga mendukung Mei di saat yang sama. Sebuah paradoks yang memang sudah seharusnya lahir dari film-film bernapas religi, karena mengedepankan batin manusia dengan Sang Kuasa.
Hingga akhirnya sampai di bagian ending pun, Samuel juga tak mau memberikan jawaban yang pasti. Dia membiarkan penonton bergumam sendiri apakah Li akhirnya menerima Mei dan keluarga kecilnya atau tidak.
Yang pasti bagi masyarakat Tionghoa, memberikan makan dan tidak menutup pintu rumah saat seseorang yang kita benci itu hadir, adalah sebuah penerimaan tertinggi. Dan Li, menunjukkan itu sebagai tanda dia sudah berdamai pada ketetapan Tuhan.
Bisakah kita seperti Li?
Tak banyak bicara soal toleransi beragama tapi menyuarakan dalam kesunyian tindakan?