Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Karena Merdeka dalam Belajar adalah Hak Segala Bangsa

2 April 2023   21:25 Diperbarui: 2 April 2023   21:52 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aku mengikuti Kelas Inspirasi Malang 3 foto: Arai Amelya

"Kak, kalau jadi jurnalis itu harus hapal perkalian sembilan?"

"Kak, biar bisa jalan-jalan ngeliput sampai Singapura harus sekolah negeri di Kota Malang ya? 

"Kak, buat masuk jurusan komunikasi harus dapat nilai seratus di bahasa Indonesia, ya?"

Aku sedikit tertawa mendengar berbagai pertanyaan dari bocah-bocah kelas VI SD yang berkumpul di depanku ini. Kutatap berbagai pasang mata mereka yang begitu jenaka, polos dan sangat ingin tahu itu. Sejak aku masuk ke kelas mereka, aku tak menduga akan memperoleh antusias yang setinggi ini.

Kupikir profesiku sebagai jurnalis media online tidaklah terdengar cukup keren jika dibandingkan dengan rekan sukarelawan lain yang seorang dokter, PNS, pilot, tentara, pengacara, hingga dosen. Namun ketika aku menjelaskan bahwa jurnalistik membawaku berkeliling Indonesia dan melakukan liputan konser hingga luar negeri, mereka langsung berbinar dan bertanya banyak hal soal profesiku.

Bagi anak-anak Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang seperti mereka ini, kehadiran program Kelas Inspirasi yang kuikuti bersama teman satu rombongan belajarku ini memang seolah membuka cakrawala baru soal profesi di masa depan.

Mereka akhirnya paham bahwa ada banyak profesi unik lain seperti jurnalis media online, fotografer, teknisi pesawat terbang, staff laboratorium, surveyor Google, hingga pekerja kapal pesiar yang bisa mereka kejar. Hanya saja keinginan untuk mengubah jalur kehidupan lewat pekerjaan yang tak biasa itu sangatlah berat untuk anak-anak di pelosok seperti mereka.

Dibesarkan dalam pembelajaran kurikulum peninggalan zaman kolonial, anak-anak itu hanya tahu bahwa untuk bisa naik kelas atau lulus SD wajib memperoleh nilai sesuai yang ditetapkan oleh guru. Untuk mendapat nilai yang sesuai keinginan guru, tentu dibutuhkan setidaknya hapalan untuk sejumlah operasi hitung matematika hingga kemampuan menulis bahasa Indonesia dengan tepat.

Mereka yang berhasil mendapat nilai minimal delapan di seluruh mata pelajaran, akan terpilih sebagai juara kelas, serta panen pujian dari pendidik dan orangtua. Sedangkan yang mendapat nilai rata-rata tujuh dan cuma meraih nilai sempurna di satu mata pelajaran, jangan harap bisa dipuji sebagai anak pintar.

Bukankah ini artinya, pendidikan hanya dilihat sebagai angka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun