Pelangi engkau pelangi, sampaikan salamku ini
Kepada kekasih hati, pada siapa kuberjanji
(Koes Plus - Pelangi)
Sayup-sayup suara Yon Koeswoyo terdengar dari dalam mobil Daihatsu Zebra 1.3 kami. Aku tak ingat sudah berapa kali lagu itu diputar semenjak mobil ini bertolak dari Malang, Jawa Timur kemarin, lalu hingga sekarang sudah menelusuri jalan tol menuju Pelabuhan Merak.
Aku masih menatap langit senja dari jendela Zebra yang terbuka. Ayah sengaja mematikan AC saat kami hampir tersesat karena kehabisan bensin di ibukota Jakarta. Ya, itu adalah kunjungan pertamaku ke Jakarta meskipun hanya sekadar dilewati saja. Kudengar kakak laki-lakiku yang duduk di kursi paling belakang menggeliat, tanda dia sudah terbangun. Sepasang mata Ibuku melihat dari kaca spion tengah dan tersenyum pada kami.
"Kita nyebrang dulu ke Bakauheni. Nanti baru Ayah cari penginapan di daerah Kalianda terus kita makan,"
Aku mengangguk. Ini akan menjadi pengalaman pertamaku menaiki kapal laut.
Sebetulnya perjalanan ini adalah segala yang pertama bagiku.
Saat itu aku dan kakakku masih sama-sama duduk di bangku SD. Namun kedua orangtua kami yang berusia sekitar 30-40 tahunan itu mengutarakan rencana gilanya untuk melakukan road trip dari Malang menuju kampung halaman Ibuku di jorong Simaung, Nagari Nan Tujuah, Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat sana.
Hanya berempat (adikku saat itu belum lahir), kami mempersiapkan segalanya dari Malang. Menempuh perjalanan di pagi hingga sore hari, lalu ketika maghrib tiba langsung mencari penginapan terdekat. Beruntung kedua orangtuaku memang bisa mengendarai mobil, sehingga mereka silih berganti menjadi sopir. Namun karena kala itu penggunaan smartphone dengan sinyal internet belumlah menjadi sesuatu hal yang biasa, orangtuaku selalu membeli peta setiap kali kami singgah di kota baru.
Jika Ayah yang sedang menyopir, Ibu yang membuka peta lebar-lebar dan memberitahu ke mana mobil kami harus berjalan. Saat kami akhirnya tersesat atau salah jalan (tidak hanya sekali terjadi), akhirnya salah satu dari mereka harus turun dan memanfaatkan GPS (Gerakan Penduduk Setempat) untuk mencari jalur yang tepat.
Sedangkan aku dan kakakku? Seingatku kami hanya mengomentari apapun yang kami lihat di sepanjang jalan dengan aku memakan camilan, padahal kala itu kami berangkat di bulan Ramadan. Aku yang masih SD memang masih belajar puasa kala itu. Meskipun sempat mencoba puasa beduk (berbuka saat adzan duhur), aku lebih banyak tidak puasa dengan beralasan sebagai seorang musafir.
Sebetulnya keinginan Ibuku untuk pulang kampung dan merayakan Idulfitri bersama makuo (kakak perempuan Ibuku) adalah alasan kenapa kami melakukan road trip sepanjang lebih dari 2.200 kilometer ini, selama total dua pekan lamanya termasuk waktu perjalanan pulang-pergi dan menginap di Simaung.
Dan itu adalah sebuah pengalaman yang ikut membentuk diriku menjadi seseorang yang begitu menyukai traveling.
Lebaran di Kampung, Tak Ada Kata Merenung
Sebagai peranakan Jawa-Minang, menghabiskan waktu Ramadan di tanah Sumatera Barat adalah sebuah memori yang tak bisa kulupakan. Meskipun akhirnya saat aku sudah dewasa sempat mudik juga bersama Ibuku, kami melakukan perjalanan dengan pesawat yang sama sekali tidak terasa pengalaman road trip-nya.
Aku masih ingat saat road trip itu, kami membeli fast food atau makanan di warung sebagai santapan sahur di penginapan kota yang kami singgahi, kemudian berburu restoran keluarga untuk berbuka. Salah satu yang paling kusukai meskipun kejadian itu sudah terjadi belasan tahun lalu adalah saat kami berbuka di tepi sungai Musi, sambil menatap indahnya Jembatan Ampera di malam hari dengan menyantap pindang patin dan gulai udang.
Tempat makan atau penginapan yang kami singgahi saat perjalanan ribuan kilometer di dua pulau itu tidak ada yang mewah memang. Namun itu mewarnai kenangan Ramadan masa kecilku dengan sangat mahal.
Begitu pula di rumah makuo yang memang berada di dusun pedalaman.
Jangan bayangkan rumah yang rapat dikelilingi tetangga, rumah makuo berada di tanah yang menanjak dengan pemandangan sawah luas di halaman depan. Tak ada tetangga di kanan dan kiri karena jarak dengan rumah lain minimal 300 meter. Hanya ada satu rumah yang memiliki TV, itupun rumah milik ketua jorong (ketua desa) yang harus ditempuh dengan jalan kaki hampir satu kilometer.
Pakuo dan makuo berprofesi sebagai petani, mengerjakan lahan milik keluarga. Anak-anaknya yang sudah dewasa dan lulus SMA kebanyakan merantau ke Jawa atau ibukota provinsi lain di Sumatera. Hanya ada dua kakak sepupuku kala itu yang masih tinggal karena memang masih berusia sekolah. Aku dan kakakku diajak untuk mengikuti sholat tarawih di dua hari terakhir jelang Lebaran.
Untuk bisa sampai ke surau yang terletak di tengah sawah itu, kami harus berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer. Lampu penerangan sepanjang jalan sangatlah terbatas, tapi karena tak ada gedung-gedung khas perkotaan, jalanan terasa terang oleh langit berbintang dan bulan purnama. Aku berkenalan dengan beberapa anak perempuan seusiaku di Palupuh, teman-temanku selama Ramadan di kampung.
Kendati kami terkendala bahasa (anak-anak kecil di kampung lebih sering dengan bahasa Minang dan kurang bisa berbahasa Indonesia), aku tetap bisa menikmati hari-hariku. Bahkan di siang hari sebelum takbiran saat orang rumah sibuk memasak rendang sapi berjam-jam lamanya, aku bermain di sungai bersama teman-teman baruku itu. Kami yang tertawa, kami yang saling melempar air dan kami yang berseluncur di batu licin itu, selamanya akan menjadi sebuah kenangan bulan suci yang sulit terganti.
"Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri," (QS. An-Nisa ayat 36)
2016 adalah kali terakhir aku pulang ke kampung halaman Ibuku untuk menikmati 10 hari terakhir Ramadan. Simaung memang sudah lebih maju dari 16 tahun sebelumnya. Bocah-bocah yang bermain denganku waktu kecil pun sudah tumbuh dewasa. Ada yang sudah menikah, ada yang sudah berganti warga negara Malaysia karena merantau, ada juga yang bekerja maupun melanjutkan sekolah ke Padang maupun Jambi.
Pakuo sudah meninggal dunia sehingga rumah kelahiran Ibuku itu kini hanya ditempati oleh makuo dan anaknya yang ketiga. Surau yang dulu kudatangi kini sudah semakin mirip dengan masjid, begitu juga sungai yang pernah jadi tempatku berenang ternyata tak selebar yang kuingat.
Namun makuo masihlah tetap sama.
Sibuk memasakkan rendang untuk sanak saudara yang datang dari jauh. Percayalah, menyantap rendang asli buatan orang Minang yang berwarna hitam itu memang tak ada duanya.
Kelak kemudian, di manapun aku menyantap rendang atau melihat sekelompok anak kecil berlarian ke masjid untuk tarawih, pikiranku akan berkelana sejauh lebih dari 2.000 kilometer. Ke sebuah kenangan yang selalu berhasil menyadarkanku bahwa kembali bersama keluarga adalah hal paling menyenangkan dalam setiap Ramadan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H