Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kenangan Ramadan Sepanjang 2.000 Kilometer

2 April 2023   11:58 Diperbarui: 2 April 2023   12:13 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: Megan Capewell/UNSPLASH

suasana berbuka puasa di rumah makuo foto: Arai Amelya
suasana berbuka puasa di rumah makuo foto: Arai Amelya

Untuk bisa sampai ke surau yang terletak di tengah sawah itu, kami harus berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer. Lampu penerangan sepanjang jalan sangatlah terbatas, tapi karena tak ada gedung-gedung khas perkotaan, jalanan terasa terang oleh langit berbintang dan bulan purnama. Aku berkenalan dengan beberapa anak perempuan seusiaku di Palupuh, teman-temanku selama Ramadan di kampung.

Kendati kami terkendala bahasa (anak-anak kecil di kampung lebih sering dengan bahasa Minang dan kurang bisa berbahasa Indonesia), aku tetap bisa menikmati hari-hariku. Bahkan di siang hari sebelum takbiran saat orang rumah sibuk memasak rendang sapi berjam-jam lamanya, aku bermain di sungai bersama teman-teman baruku itu. Kami yang tertawa, kami yang saling melempar air dan kami yang berseluncur di batu licin itu, selamanya akan menjadi sebuah kenangan bulan suci yang sulit terganti.

"Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri," (QS. An-Nisa ayat 36)

2016 adalah kali terakhir aku pulang ke kampung halaman Ibuku untuk menikmati 10 hari terakhir Ramadan. Simaung memang sudah lebih maju dari 16 tahun sebelumnya. Bocah-bocah yang bermain denganku waktu kecil pun sudah tumbuh dewasa. Ada yang sudah menikah, ada yang sudah berganti warga negara Malaysia karena merantau, ada juga yang bekerja maupun melanjutkan sekolah ke Padang maupun Jambi.

Pakuo sudah meninggal dunia sehingga rumah kelahiran Ibuku itu kini hanya ditempati oleh makuo dan anaknya yang ketiga. Surau yang dulu kudatangi kini sudah semakin mirip dengan masjid, begitu juga sungai yang pernah jadi tempatku berenang ternyata tak selebar yang kuingat.

Namun makuo masihlah tetap sama.

Sibuk memasakkan rendang untuk sanak saudara yang datang dari jauh. Percayalah, menyantap rendang asli buatan orang Minang yang berwarna hitam itu memang tak ada duanya.

Kelak kemudian, di manapun aku menyantap rendang atau melihat sekelompok anak kecil berlarian ke masjid untuk tarawih, pikiranku akan berkelana sejauh lebih dari 2.000 kilometer. Ke sebuah kenangan yang selalu berhasil menyadarkanku bahwa kembali bersama keluarga adalah hal paling menyenangkan dalam setiap Ramadan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun