"Ya sekitar enam minggu lah, itu kaki kirinya nggak boleh napak. Nanti setelah itu baru boleh belajar jalan pelan-pelan sambil fisioterapi. Nanti kemudian tiga sampe enam bulan itu prosesnya, sampai lepas tongkat dan bisa jalan dua kaki lagi,"
Aku terdiam.
Penjelasan dokter Anindito selaku spesialis bedah ortopedi di Rumah Sakit Tebet pagi itu membuatku kehilangan kata-kata. Kemarin sore hingga malam aku memang baru saja melakukan operasi untuk patah tulang calcaneus di kaki kiriku. Aku tak tahu harus berkomentar apa karena hanya bisa menatap sepasang tongkat kreuk di samping ranjang tidurku, yang sepertinya kan menjadi teman baik beberapa bulan ke depan.
Seumur-umur, aku memang tak pernah menduga kalau operasi pertama dalam hidupku adalah operasi patah tulang. Cedera ini sendiri aku dapat saat mengikuti ekspedisi Batang Kawa bersama komunitas AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Kalimantan Barat-Kalimantan Tengah, akhir Februari 2023 lalu.
Menjelajah alam memang sudah menjadi bagian hidup dan hobiku. Tapi aku tidak mengira kalau sungai Batang Kawa adalah tempat di mana aku mengalami musibah yang mengubah hidupku di tahun ini, dan mengacaukan banyak rencana yang sudah kupersiapkan.
Sebagai orang yang sangat suka bepergian dan berjalan kaki, musibah ini jelas sangat berat. Aku masih ingat saat belajar menggunakan kreuk untuk kali pertama bersama terapist, ternyata tidak semudah yang terlihat. Memakai kreuk justru sesuatu yang menyulitkan dan aku hampir terjatuh, meskipun akhirnya kini aku sudah menggunakan dua tongkat itu selama lima pekan.
Dalam kondisi itu aku seolah disadarkan.
Ternyata, menjadi seorang difabel adalah sesuatu yang sangat berat.
Kaki Patah, Membuatku Melakukan Banyak Adaptasi
Harus kehilangan fungsi kaki kiri untuk sementara memang membuat keseharianku berubah. Beruntung aku adalah seorang blogger yang bisa melakukan pekerjaan di rumah, bahkan dari kamar. Problem terbesarku adalah ke kamar mandi dan menjalankan ibadah sholat.