'Adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah'
Aku sebetulnya tak pernah paham-paham betul dengan kalimat itu.
Ya, terlahir sebagai peranakan Jawa-Minang yang menghabiskan hidup dari lahir di tanah Jawa, membuat kesadaranku sebagai keturunan Minang hanya muncul saat makuo, pak angah atau etek menelepon. Sisanya? Aku benar-benar merasa sebagai seorang Jawa tulen.
Bahkan jangankan aku, Ibuku yang asli Minang karena terlalu lama tinggal di Jawa, kadang lupa arti kalimat yang dituliskan temannya di grup WhatsApp alumni SD.
Padahal menjadi seorang keturunan Minang sangatlah menyenangkan. Aku begitu bangga dengan pandangan suku ini yang sangat menghormati perempuan dan menempatkannya pada kedudukan istimewa, karena sistem matirilineal yakni mengikuti garis keturunan Ibu.
Bundo Kanduang, seperti itu kata makuo di suatu waktu, saat aku akhirnya memilih menghabiskan tiga hari terakhir puasa Ramadan di tanah kelahiran Ibuku yakni Simaung, Nagari Nan Tujuah, Palupuh, Kabupaten Agam sana. Menurut penjelasan makuo yang adalah kakak perempuan Ibuku, perempuan dalam suku Minang memiliki peran penting terutama dalam menentukan berhasil tidaknya keputusan yang sudah ditetapkan kaum lelaki.
Praktis ketika aku pulang kampung hingga merayakan Idulfitri di desa pedalaman Sumatera Barat itu, aku yang adalah perempuan satu-satunya dalam ketiga anak orangtuaku, mendapat 'pelayanan' yang sangat maksimal.
Termasuk saat aku meminta sepupu untuk mengantarkanku berkeliling Sumatera Barat dan singgah di bangunan ikonik mereka, Masjid Raya Sumatera Barat.
Filosofi Masjid Seribu Pintu Angin
Tidak sulit sebetulnya untuk jatuh hati pada Masjid Raya Sumatera Barat atau yang sering juga dijuluki sebagai Masjid Mahligai Minang, maupun Masjid Seribu Pintu Angin karena banyaknya pintu sehingga angin selalu bertiup di dalamnya.
Tak seperti masjid-masjid kebanyakan di Indonesia yang berkubah karena mengikuti gaya arsitektur Timur Tengah, Masjid Raya Sumatera Barat memiliki atap berbentuk gonjong pada keempat sisinya, seperti khasnya rumah adat Minangkabau, rumah gadang.
Jika masjid-masjid kuno di tanah Jawa kebanyakan memiliki atap segitiga bertingkat sebagai bentuk akulturasi budaya Islam dan Hindu, maka atap gonjong pada Masjid Raya Sumatera Barat adalah akulturasi Islam dengan adat Minangkabau.
Ya, desain atap Masjid Raya Sumatera Barat ini mengejawantahkan betul falsafah adat suku Minang, 'Adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah', yang bermakna adat dan agama merupakan dua hal yang selalu berdampingan. Namun cerita yang diurai tidaklah itu saja. Karena empat sudut lancip pada bagian atapnya ini didesain sang arsitek Rizal Muslimin yang terinspirasi dari bentangan kain empat kabilah suku Quraisy saat hendak meletakkan batu Hajar Aswad di Kabah.
Dosen Fakultas Arsitektur, Desain dan Perencanaan di Universitas Sydney itu memang mempunyai prinsip bahwa perkembangan arsitektur di masa depan ini tak harus meninggalkan sentuhan tradisional. Bahkan Rizal mempunyai gagasan jika seni dan kerajinan budaya lawas bisa memberikan sumbangsih saat mendesain bangunan.
Sudah terpikat sejak lama pada bentuk rumah gadang, Rizal pun menampilkan atap gonjong pada Masjid Raya Sumatera Barat yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan geometrik bujur sangkar seperti khasnya rumah ibadah.
Tak cuma indah dipandang, struktur bangunan masjid ini juga dibuat luar biasa kokoh karena konon mampu tahan gempa hingga 10 SR, meskipun ruang utamanya dibangun tanpa tiang penyangga.
Namun yang jauh lebih membuatku sangat terpesona juga selain sudut-sudut tajam geometrik yang begitu indah, Masjid Raya Sumatera Barat ini dihiasi berbagai ornamen khas adat Minangkabau. Kepada Republika, Sayuti selaku Ketua LKAAM Sumatera Barat menegaskan kalau ornamen di masjid itu sudah melewati diskusi panjang antara para buya dan konsultan.
Contohnya seperti ornamen berbentuk segitiga enam sudut, itu bermakna tiga tungku sajarangan tiga tali sapilin yang merupakan simbol senantiasa memegang teguh Rukun Iman. Lalu juga di bagian dinding tempat meletakkan Alquran terdapat ukiran empat sudut yang dalam budaya Minangkabau merupakan tau di nan ampek, atau perlambang empat kitab suci umat beragama yakni Alquran, Injil, Taurat dan Zabur. Bisa juga dikaitkan dengan adat nan ampek yaitu adat nan subana adat, adat nan diadatkan, adat nan taradat, serta adat istiadat.
Sungguh, negeri ini butuh lebih banyak masjid-masjid yang memadukan tradisi adat dengan semesta Islam. Seolah mengajak kita untuk memenuhinya setiap kali Ramadan tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H