Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Investasi Hijau, Kiamat 2011 dan Harapan 7 Miliar Orang di Pundak Indonesia

31 Juli 2022   22:25 Diperbarui: 31 Juli 2022   22:34 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: bappenas.go.id

"Bapak dan Ibu semua, selamat datang di Nusantara. 75% wilayah di ibukota negara Indonesia ini adalah kawasan hijau dengan konstruksi ramah lingkungan, sebagai wujud 'smart city forest'. Nusantara adalah etalase kota modern yang mengusung kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sembari mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Nusantara adalah sayap harapan bagi tujuh miliar manusia Bumi untuk hidup di dunia yang lebih baik"

Tentu, narasi di atas hanyalah impian saya.

Namun, mungkin saja benar-benar terwujud kelak ketika ibukota negeri ini sudah berpindah ke pulau Kalimantan, pada tahun 2045.

Ya, 2045 mungkin akan menjadi salah satu hari bersejarah bagi peradaban negeri ini. Mungkin momentumnya akan sebanding dengan bagaimana Soekarno-Hatta mengumandangkan Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, tahun 1945 silam.

Di tahun 2045 pula, akan menjadi pembuktian berhasil tidaknya negeri ini memenuhi ambisi Net-Zero Emission (NZE) alias nol emisi karbon, sesuai target Perjanjian Paris 2015.

Seperti yang sudah kita semua ketahui, nol emisi karbon saat ini memang menjadi sebuah target yang wajib dilakukan oleh para petinggi dunia mengingat Bumi ini sedang tidak baik-baik saja.

Bahkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan pada tahun 2025 nanti, ada 40% kemungkinan temperatur Bumi menjadi 1,5C lebih panas dibandingkan masa pra-industri (tahun 1850an). Kendati terdengar seperti kenaikan suhu yang kecil, faktanya 1,5C lebih panas bisa memicu berbagai bencana iklim sampai yang paling ekstrem, musnahnya separuh spesies Bumi.

Jika emisi karbon itu terus dibiarkan, nubuat kiamat geologi di tahun 2100 bukanlah isapan jempol semata. Hal ini diungkapkan Daniel H Rothman, seorang ahli geofisika dari Institut Teknologi Massachussets.

Selama 540 juta tahun terakhir, Bumi sudah lima kali mengalami kepunahan masal dengan yang terparah adalah peristiwa The Great Dying di era Permian saat 95% makhluk hidup di Bumi punah dan air laut jadi asam. Kemudian di periode Crataceous-Tertiary pada 65 juta tahun lalu juga ada kiamat yang memusnahkan dinosaurus.

Dua peristiwa kepunahan masal itu memiliki benang merah yang sama yakni gangguan siklus karbon. Sesuatu yang kini tengah dialami oleh Bumi.

Dalam penelitiannya yang berjudul, Thresholds of Catastrophe in the Earth System yang terbit di Science Advances, grafik hitungan matematis membuat Rothman memperoleh angka ambang batas emisi karbon di Bumi adalah 310 gigaton di tahun 2100 mendatang. Di mana saat Bumi sudah mencapai angka itu, planet ini akan mengalami kepunahan masal.

Sebuah ramalan mengerikan. Angka-angka menggetarkan. Yang berpeluang terjadi 78 tahun lagi.

Investasi Hijau, Generator Henti Kiamat Milik Indonesia

Sumber infografis: Katadata
Sumber infografis: Katadata

Jika mengacu pada laporan WRI (World Resources Institute) di Washington DC pada tahun 2014, Indonesia bertengger di posisi keenam sebagai negara penghasil emisi karbon tertinggi di dunia. Ada 2,05 miliar ton karbon dihasilkan Indonesia berkat ulah Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan).

Namun, Indonesia juga memiliki potensi besar sebagai penurun emisi karbon terbesar. Setidaknya ada peluang terpangkasnya 650 Mton CO2e dari sektor kehutanan dan 398 Mton CO2e dari sektor energi dan transportasi.

Bagaimana hal itu bisa diwujudkan?

Lewat bantuan sumber pendanaan internasional, dengan generatornya adalah Investasi Hijau alias green investment.

Ya, Ekonomi Hijau adalah kunci peningkatan pertumbuhan ekonomi tanpa harus mengorbankan kelestarian lingkungan, sekaligus inklusivitas sosial.

Bukan hanya sekadar pepesan kosong, Indonesia memiliki Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang memang bertujuan mengembangkan proyek-proyek bankable sesuai NDCs (Nationally Determined Contributions) dan SDG (Sustainable Development Goals).

Dilansir website resmi Kementerian Investasi/BKPM, beberapa Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau dilaporkan sudah mulai terlihat hasilnya di negeri ini. Apa saja?

  • Kementerian Keuangan menggagas CBT (Climate Budget Tagging) yang sudah berkembang jadi instrumen pembiayaan nasional inovatif seperti sukuk hijau
  • BEI (Bursa Efek Indonesia) bergabung dengan inisiatif SSE (Sustainable Stock Exchange) PBB pada 2019 dan kemudian mendukung TCFD (Task Force on Climate-related Financial Disclosures) pada Juni 2021
  • BEI menyediakan produk-produk Investasi Hijau seperti green bond, reksadana dan sukuk hijau
  • Indonesia sudah menetapkan harga karbon lewat pajak karbon dan perdagangan karbon
  • Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan jika investor asing yang hendak berinvestasi harus punya komitmen ramah lingkungan, mendidik tenaga kerja lokal, bersedia alih teknologi termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya mineral
  • Adanya indeks Sri-Kehati di lantai BEI. Indeks Sri-Kehati sendiri adalah gabungan saham 25 emiten yang memenuhi tiga penilaian Yayasan Kehati termasuk aspek fundamental perusahaan yang mencakup sikap terhadap lingkungan, masyarakat lokal dan penegakan HAM, seperti dilansir Asia Today.

Ke depannya melalui Investasi Hijau, jalur pembangunan rendah karbon ini bisa meningkatkan laju pertumbuhan PDB rata-rata 6% pertahun. Apalagi peluang terciptanya 15,3 juta lapangan kerja, menjadikan Indonesia benar-benar fokus merangkai asa sebagai destinasi utama green investment.

Tak heran kalau Indonesia yang dianggap sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini sepakat mencapai NZE pada 2060, atau paling cepat 2040. Kini pada Fase II pada Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau, ada tiga sektor prioritas yang digenjot negeri ini yakni energi berkelanjutan, lanskap berkelanjutan dan infrastruktur berkelanjutan dalam konteks KEK (Kawasan Ekonomi Khusus).

Presidensi G20, Momentum Indonesia Genjot Investasi Hijau Demi Dunia

Sumber foto: Youtube Sekretariat Presiden
Sumber foto: Youtube Sekretariat Presiden

Demi mewujudkan mimpi jangka panjang Ekonomi Hiijau di Bumi Nusantara, takdir membawa Indonesia menemui Presidensi G20.

Untuk pertama kalinya, negeri ini memegang mandat sebagai tuan rumah penyelenggara pertemuan G20 sejak 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022 mendatang. Lewat tema besar Recover Together, Recover Stronger, Indonesia mengajak seluruh masyarakat dunia bersama-sama saling mendukung dan menjadi peradaban yang lebih kuat.

Berperan penting dalam proyeksi pertumbuhan global, investasi berkelanjutan ramah lingkungan (sustainable investment) jelas jadi salah satu agenda terpenting dalam pertemuan G20. Menurut Wahyu Kuncoro selaku wartawan Harian Bhirawa, sustainable investment yang bakal diterapkan tak hanya oleh negara-negara anggota G20 tapi juga seluruh negara di dunia itu haruslah memenuhi aspek ESG (Environmental, Social and Governance).

Jika menelusuri data yang dimiliki Bappenas, potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim bisa mencapai Rp115 triliun pada tahun 2024. Karena itulah, pertumbuhan ekonomi baru yang berkelanjutan dan sudah pasti go green, akan menjadi fokus Indonesia dan bakal didorong penuh lewat Presidensi G20.

Ekonomi Hijau ini juga berpeluang melahirkan 4,4 juta lapangan kerja baru dan kontribusi PDB hingga Rp600 triliun, pada 2030 nanti.

Negeri ini bolehlah berbangga jika sukuk hijau yang memang diarahkan pada proyek-proyek peningkatan ketahanan iklim, transportasi berkelanjutan dan efisiensi energi sudah memberikan kontribusi besar bagi perekonomian. Dalam penerbitan instrumen green bonds, Indonesia mampu meraih US$1,85 miliar di tahun 2020 dan US$3,99 miliar di tahun 2021 lewat empat kali penerbitan sukuk global hijau dan tiga kali sukuk ritel hijau.

Ke depannya, Eka Wijayanti selaku Program Manajer Senior Lanskap YIDH (Yayasan Inisiatif Dagang Hijau) menyebutkan jika peluang Investasi Hijau di Indonesia masihlah terbuka lebar. Dilansir Katadata, setidaknya untuk peremajaan (replanting) sektor perkebunan sawit saja, masih menanti investasi Rp50 juta per hektar. Dan jika di Riau memiliki 400 ribu hektar sawit yang siap di-replanting, tentu dampak ekonominya bakal begitu luar biasa.

Sawit sendiri memang jadi komoditas unggulan Indonesia untuk kebutuhan BBN (Bahan Bakar Nabati), sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang menyumbang emisi karbon berlimpah. Dengan fakta bahwa lahan tanaman penghasil sawit di Indonesia mencapai lebih dari 11,75 hektar (per tahun 2019), negeri ini artinya punya 49,5% total lahan sawit di Bumi. Hal ini jelas menjadi magnet yang kuat untuk Investasi Hijau

Melalui sawit, Indonesia tengah menggenjot penggunaan CPO (Crude Palm Oil) untuk biodiesel. Berdasarkan data Departemen Energi Amerika Serikat, biodiesel hanya menghasilkan seperempat dari jumlah emisi karbon diesel konvensional. Sehingga bisa disimpulkan kalau biodiesel adalah solusi terbaik yang kini dimiliki Indonesia untuk memangkas emisi karbon.

Dengan kendaraan Investasi Hijau, Indonesia mengusung agenda besar untuk menjadi salah satu penggerak utama dalam sebuah upaya keberlangsungan makhluk hidup dan lingkungannya lewat ekonomi, sang kunci peradaban.

Upaya Ekonomi Hijau memang sudah dibangun sejak beberapa tahun lalu. Dalam kurun waktu 2010-2014, BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) memaparkan sebanyak 30,3% (sekitar Rp486 triliun) dari total investasi, sudah mengalir ke proyek Investasi Hijau. Dari jumlah itu, US$26,8 miliar adalah PMA (Penanaman Modal Asing) dan Rp139,1 triliun adalah PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri).

Sumber foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA
Sumber foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA

Kini tak berlebihan rasanya disebutkan jika Presidensi G20 Indonesia bakal jadi tonggak sejarah penting bagi Indonesia dan dunia dalam melakukan transisi ke ekonomi hijau.

Bahkan hal ini juga didukung penuh oleh bank sentral Indonesia, Bank Indonesia (BI) yang siap melakukan migrasi ke arah bank sentral hijau. Bersama dengan otoritas terkait, BI menjamin ketersediaan pasar uang hijau, pembiayaan inklusif dan hijau untuk UMKM sampai ekonomi syariah yang berkelanjutan, seperti dilansir Kompas.

Tak heran kalau akhirnya Presidensi G20 adalah bukti positifnya persepsi pejabat tinggi negara-negara maju dalam menilai kekuatan ekonomi Indonesia, sekalipun dihantam krisis dan pandemi Covid-19. Sebagai satu-satunya anggota G20 di Asia Tenggara sekaligus perwakilan negara berkembang, acara ini adalah bentuk pengakuan atas status Ibu Pertiwi.

Menko Perekonomian Airlangga Hartanto bahkan menjelaskan tiga manfaat besar Indonesia terpilih sebagai Presidensi G20.

Pertama, adanya peningkatan konsumsi domestik hingga Rp1,7 triliun yang membuat penambahan PDB nasional menyentuh Rp7,4 triliun. Kedua, Presidensi G20 juga mampu menyerap sekitar 33 ribu tenaga kerja di berbagai sektor. Ketiga, branding Indonesia di tingkat global berdampak positif ke sektor akomodasi, food and beverage, serta tentunya pariwisata.

Tentu melihat berbagai hal yang diberikan, mendukung penuh Presidensi G20 adalah satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sebagai Warga Negara Indonesia.

Aku, kamu, kalian dan kita semua, akan jadi saksi seperti apakah roda ekonomi negeri ini akan menggelinding dan dampaknya secara global. Karena sebaik-baiknya negara, adalah negara yang memberikan manfaat bagi negara lain dan masyarakat dunia tentunya. So, Recover Together, Recover Stronger!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun