"Lek pas londo karo nippon e teko yo langsung bubrah, ditinggal iku kabeh panganan e. Makane mbahkung lek mangan lak cepet ora koyok awakmu. Mangan kesuwen yo ditembak ambek musuh e," (Kalau tentara Belanda dan Jepang datang ya langsung kacau. Ditinggal itu semua makanannya. Karena itu kakek kalau makan kan cepat tidak seperti kamu. Makan terlalu lama ya ditembak sama musuhnya)
Aku tersenyum lagi.
Ada banyak sekali cerita-cerita ketika beliau menjadi tentara dulu yang masih begitu diingat dengan jelas, seolah semua kejadian itu baru terjadi kemarin. Peristiwa-peristiwa yang mungkin luput tak direkam oleh buku sejarah, begitu lugas beliau ceritakan.
Aku melirik sebutir klepon tersisa di piring depan kami. Ya, kue mungil berwarna hijau yang berselimut kelapa itu memang tak pernah absen di rumah mbahkung, terutama saat Lebaran.
Karena di waktu itulah, aku akan menghabiskan banyak waktu berdua dengan mbahkung, mendengarkan ceritanya saat masih jadi tentara. Kadang diliputi kenangan bagaimana nakalnya Ayahku saat remaja, hingga betapa cantiknya nenekku di bawah payung merah jambu. Namun dalam setiap ceritanya, piring berisi kue-kue klepon akan setia menemani kami.
Kupandang mbahkung, beliau tersenyum dan mengangguk. Sepertinya sadar kalau salah satu cucu perempuan terkecilnya ini juga sangat menyukai klepon. Tak butuh waktu lama, si kenyal itu meledak di mulutku dan mengeluarkan gula merah yang begitu manis.
Sebuah rasa yang benar-benar kusukai dan memenuhi banyak kisah Ramadan sekaligus Lebaranku sejak kecil.
Namun ketika tahun dan waktu berganti, klepon yang dulu menjadi penanda kebahagiaan itu pernah sekali menjadi sebuah kepiluan.
Saat itu tahun 2015. Beberapa bulan setelah Idul Fitri, mbahkung pergi menyusul rekan-rekannya sesama pejuang'45, mengurai cerita mereka masing-masing di alam keabadian.
Kerinduan Lama yang Hadir Tidak Disengaja
Kulirik smartwatch di pergelangan tangan kananku, sudah menunjukkan pukul 17.20 WIB. Suara lantunan ayat-ayat suci Al-Quran sudah berkumandang di seluruh jalan yang kulewati.
Suasana seharusnya menjadi syahdu ketika jelang Maghrib di bulan puasa saat ini. Namun aku justru menggerutu karena sudah 30 menit lebih berada di jalan raya lantaran terjebak macet. Pasar-pasar takjil yang hidup kembali setelah dua tahun mati suri, memang menjadi penyebab utama kenapa jalanan-jalanan Kota Malang begitu padat jelang berbuka.