Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Surat Cinta dari 74 Ribu Tahun Lalu itu Bernama Danau Toba

26 September 2021   23:54 Diperbarui: 26 September 2021   23:57 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
danau Toba dari Samosir PL 05 SIGIT

Koes Plus mungkin sedang bercanda saat membuat lirik lagu Kolam Susu yang begitu disukai Ayah saya itu. Kata mereka: 'orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman'.

Terdengar menggelitik? Memang.

Bagaimana mungkin tongkat kayu dan batu bisa berubah jadi tanaman begitu saja? Apakah tanah Indonesia ini memiliki kekuatan magis untuk mengubah apapun yang ditancapkan di atasnya menjadi tanaman dan bisa tumbuh subur?

Saya awalnya pun mengira lirik itu hanya ungkapan metafora berlebihan. Tapi melihat bentang alam negeri ini, apa yang tersimpan di bawah kerak-kerak Bumi Nusantara, saya mulai sadar kalau Tuhan memang tidak main-main saat menciptakan Indonesia.

Meletakkan gunung-gunung yang berjajar dari Sabang sampai Merauke, menjadikan kepulauan yang di kemudian hari dijuluki Zamrud Khatulistiwa ini akhirnya dilewati Cincin Api Pasifik. Sebuah kondisi yang selain luar biasa mengerikan, tapi juga luas biasa menguntungkan.

Kesuburan jelas menjadi jaminan bagi makhluk-makhluk yang berpijak di atas Nusantara.

Namun mereka juga harus siap dengan berbagai bencana mengejutkan seperti letusan maha dahsyat dari gunung berapi. Gunung-gunung gagah yang menawarkan pesona sangat indah, tapi tanpa sadar tengah sibuk menggodok magma di dapur-dapur mereka.

Dan bencana mengerikan itulah yang terjadi di tanah Andalas sekitar 74 ribu tahun lalu.

Jangan bayangkan gunung sekelas Semeru, Rinjani, Merapi bahkan Sinabung di dataran tinggi Karo sana. Gunung yang akan saya bahas ini memiliki level jauh lebih mengerikan dan dijuluki sebagai salah satu gunung berapi raksasa alias supervulkan. Memuntahkan material yang sulit dinalar, gunung purba ini menggetarkan Bumi dengan ledakan super masif berkekuatan VEI (Volcanic Explosif Index) 8, sebuah skala numerik tertinggi untuk letusan gunung berapi.

Letusan yang tidak bisa tertandingi itupun langsung membuat iklim di Bumi menjadi kacau dan memicu musim dingin vulkanik. Disebutkan hampir 90% kehidupan di planet biru ini tersapu waktu, termasuk hampir musnahnya manusia-manusia purba. Membawa serta awan panas, gelombang tsunami super tinggi dan udara yang mengandung racun, abu vulkanis gunung itu menutupi seluruh permukaan udara di Bumi ini.

Gunung raksasa super mengerikan itu bernama gunung Toba.

Dengan letusan yang sudah menyerupai level kiamat itu, gunung Toba pun langsung luluh lantak tak berbentuk. Gunung purba itu telah mati. Meninggalkan sebuah kaldera yang akhirnya kini dikenal sebagai salah satu danau alami terbesar di Bumi, bernama danau Toba.

Sebuah awal dari surat cinta yang dituliskan Tuhan kepada rakyat Batak, dan tentunya bangsa Indonesia.

Danau Toba Pusat Kehidupan Suku Batak yang Luhur

danau Toba dari Sigapitan AFP/Goh Chai Hin
danau Toba dari Sigapitan AFP/Goh Chai Hin

Membentang sepanjang 100 kilometer, lebar 30 kilometer dan kedalaman hingga 505 meter, bisa menjejakkan kaki di Toba tentu adalah mimpi dari seluruh masyarakat negeri ini, termasuk saya. Sebagai peranakan Jawa-Minang, tanah Sumatera memang seolah melambai agar manusia pulang seberang berkunjung menikmati keelokannya.

Sebagai icon dari Wonderful Indonesia, danau Toba memang menjalankan perannya dengan tepat. Seperti makna dari wonderful itu sendiri, Toba adalah kaldera di mana hal-hal menakjubkan bersemayam.

Baik keindahan alam atau budaya, danau Toba memberikan janji kepada dunia.

Siapapun yang datang akan terpesona dan selalu ingin kembali menikmati ruang-ruang cerita yang terbentang di danau seluas 1.145 kilometer persegi itu.

Biarkan kaki kalian lelah berjalan hingga puncak Bukit Holbung karena tempat itu menjanjikan hamparan padang rumput dan pemandang bukit yang mengelilingi danau Toba dari ketinggian. Menghabiskan malam untuk berkemah di Bukit Holbung tentu bisa jadi sebuah pengalaman tak terperi karena di malam hari, bintang terhampar di atas langit danau Toba tanpa malu-malu.

Atau mungkin bagi kalian yang begitu merindukan jejak sejarah, puncak gunung Pusuk Buhit tentu bisa jadi pilihan. Bagi masyarakat Batak, puncak gunung Pusuk Buhit adalah wilayah suci di mana sang Raja Batak pernah terlahir. Dan dari titik setinggi 1.982 meter di atas permukaan laut itu, danau Toba tampak terbentang.

Namun kalau boleh memilih, desa Huta Ginjang di Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara adalah lokasi terbaik untuk menikmati kemolekan Toba bagi saya. Selain teropong bintang, saya ingin sekali mencoba olahraga paralayang sehingga benar-benar menikmati jejak gunung purba ini dari ketinggian, ditemani angin yang tanpa letih menghembus.

Dan teman terbaik untuk menikmati danau Toba tidak lain tidak bukan tentu adalah tarian tortor. Bagi orang Batak, tortor lebih dari sekadar tarian. Tortor adalah sebuah budaya purba yang memiliki kekuatan magis. Sebagai denyut nadi dari Heritage of Toba, tarian tortor mengingatkan saya kembali bahwa segala hal indah yang terbentang di sekitar danau Toba adalah sebuah surat cinta dari Sang Maha Kuasa.

Dibungkus kain ulos, para penari tortor akan bergerak seiring dengan alunan musik gondang, sayup-sayup terdengar suara maronang-onang menyanyikan syair luhur mengenai sejarah, doa dan keberkahan. Sebuah komunikasi luar biasa intim antara masyarakat Batak dengan Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa).

Manusia yang berdiam di sekitar Toba paham jika kaldera supervulkanik itu memang begitu memberi penghidupan bagi mereka. Tak hanya wisata dan warisan budaya yang menjadi magnet wisatawan, tanah-tanah di sekitar Toba juga luar biasa subur, warisan letusan maha dahsyat di masa lampau.

Banyaknya daerah resapan air di sekeliling Toba sangat mempengaruhi kualitas dan volume hasil bumi yang begitu memuaskan seperti biji kopi. Jangan pernah kamu meninggalkan Toba tanpa menyeruput aroma kuat biji kopi Sigararutang (si pembayar utang) yang sudah sejak lami jadi andalan petani-petani kopi di sekitar danau Toba, sebagai penopang kehidupan dan merajut mimpi anak keturunan mereka.

Menurut para ahli dan pemuja kopi, cita rasa kopi yang ditanam di sekitar danau Toba itu spesial.

Lewat buku Kopi: Sejarah. Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir dan Sistem Kemitraan yang didasarkan para riset Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao), kopi-kopi Toba menonjol berkat karakternya yang kompleks, aroma floral menyerbak dan tingkat keasaman lembut sampai tinggi. Bahkan kadang memiliki karakter spicy yang bisa ditebak berkat ulah andaliman, rempah-rempah khas masyarakat Toba.

Sebuah paduan cita rasa luar biasa yang tentu tak akan terwujud tanpa adanya danau Toba. Sekali lagi membuktikan kalau Toba bukanlah sekadar danau biasa bagi masyarakat di sekitarnya. Karena Toba adalah jalur kehidupan, sebuah surat cinta yang memang diberikan Penguasa Semesta sejak 74 ribu tahun lalu.

Hantaman Pandemi dan Menjejak Kebangkitan Toba

danau Toba dari Samosir PL 05 SIGIT
danau Toba dari Samosir PL 05 SIGIT

Menjejak betapa besar potensi yang dimiliki danau Toba, Tak heran kalau akhirnya pada tahun 2020 lalu, Kaldera Toba ditetapkan sebagai salah satu UNESCO Global  Geopark. Kaitan geologis sekaligus warisan tradisi dengan masyarakat lokal baik dalam hal keanekaragaman hayati atau hal budaya, merupakan daya tarik kuat yang akhirnya menjadikan lokasi ini sebagai DSP (Destinasi Super Prioritas) Toba.

Ya, inilah masa depan danau Toba.

Setidaknya terdengar begitu indah sampai akhirnya pandemi Covid-19 menghantam sendi-sendi kehidupan di sana.

Jhon Piter Silalahi selaku Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Toba di awal Juli 2021 sempat mengutarakan kemuramannya lantaran kunjungan wisata yang anjlok ke Toba. Tak main-main, dari tahun 2019 ke 2020, wisatawan yang datang ke Toba menurun sampai 75%.

Lantas apakah ini artinya Toba sudah ditinggalkan?

Tentu saja tidak!

Rehat sejenak saat pandemi justru menjadi waktu bagi kita masyarakat Indonesia untuk saling bergandengan dengan warga di sekitar Toba. Bersama-sama mengembalikan kejayaan sang kaldera sumber air tanpa akhir tersebut.

Bagaimana caranya?

Dengungkan DSP Toba.

Bagi kamu yang tidak tahu, ini merupakan konsep pariwisata berkelanjutan yang tentunya ramah lingkungan dan berbasis alam serta budaya. Di mana didalamnya, terdapat upaya meningkatkan kapasitas sekaligus kompetensi SDM (Sumber Daya Manusia) terkait.

Sebagai penggerak wisata utama, pemerintah harus memberikan pelatihan dan standarisasi bagi masyarakat lokal Toba yang ada di spot-spot wisata. SDM yang berkualitas dan profesional tentu akan membuat wisatawan jadi luar biasa tenang dan nyaman melakukan berbagai atraksi wisata, termasuk watersport di perairan danau Toba itu.

Jangan hanya mengundang turis sebanyak-banyaknya, pemerintah harus menyiapkan fasilitas kehidupan di daerah-daerah penunjang danau Toba. Dimulai dari standar toilet yang bersih dan nyaman, penginapan, hingga tentunya akses jalan dan transportasi. Lagi-lagi libatkan betul masyarakat lokal Toba terutama kalangan muda untuk menguasai kemampuan standar pendamping wisata, sekaligus gaya hidup go green.

Dan ketika SDM itu sudah meningkat, pemerintah tinggal mencanangkan program ekowisata berkesinambungan. Ajak turis-turis itu ke berbagai area alami di sekitar Toba seperti air terjun Situmurun yang memiliki tujuh undakan memukau di tebing tepian danau Toba, bukit Holbung di pulau Samosir, takjub dengan obyek Batu Gantung di Kota Parapat, hingga berkunjung ke pulau tak berpenghuni di pulau Tulas Samosir.

Namun tak cuma sekadar berwisata alam saja, ekowisata juga mencakup interpretasi terhadap budaya masyarakat sekitarnya. Tempat terbaik tentu adalah Desa Tomok yang ada di wilayah timur Pulau Samosir. Di Tomok kamu bisa melihat rumah-rumah adat khas Batak termasuk makam-makam raja kuno hingga artifak peninggalan zaman megalitikum.

 indonesia.travel
 indonesia.travel

SDM yang meningkat, ekowisata yang digaungkan, tentu bakal makin sempurna jika program MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) benar-benar diwujudkan. Lewat MICE di Indonesia Aja itu, pariwisata Toba akan begitu seksi untuk kegiatan bisnis. Ada tiga sektor utama penggerak MICE yakni hotel, transportasi dan atraksi yang tentunya sudah dimiliki oleh Toba dan tinggal menanti SDM-SDM para pelaku bisnis travelling itu memenuhi standar.

Dengan berbagai upaya itu, Toba jelas tak akan kehilangan pesonanya.

Toba akan terus dan selalu menemani peradaban manusia di Indonesia ini silih berganti, tanpa perlu cemas digerus zaman.

Seperti layaknya seorang gadis yang memperoleh surat cinta dari sosok cinta pertamanya, rasa semangat yang menggebu dan perasaan bahagia tentu diharap akan selalu membuncah di kalangan masyarakat lokal, garda terakhir pelindung danau Toba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun