Mengamati keadaan generasi saat ini, kita akan dihadapkan pada dua sisi mata uang. Ada yang penuh prestasi, membanggakan dengan kebaikan adab dan dirinya, mengagumkan dengan deretan inovasi dan sumbangsihnya bagi lingkungan sekitar. Sesuatu yang patut disyukuri.
Namun di sisi lain, akan ditemukan potret generasi rapuh ala strawberry, generasi mudah depresi, ada terseret arus pergaulan bebas, ada yang terkungkung lingkungan hobi bully, ada yang terjebak di kelamnya narkotika dan miras, ada yang hilang adab dan tata kramanya ketika berinteraksi. Sesuatu yang memperhatikan.
Yang menjadi tanda tanya besar adalah apakah potret yang patut disyukuri lebih banyak dibandingkan potret memprihatinkan? Mengapa bisa? Bukankah negeri ini mayoritas muslim? Dengan begitu bukankah remaja-remajanya juga kemungkinan banyak yang muslim?
Jika jawabannya banyak yang memprihatinkan, maka ini menjadi PR bersama. Sebab remaja saat ini adalah bagian dari lingkungan hidup manusia dewasa saat ini. Pada habitat yang mereka huni saat ini, ada pola yang diwariskan dari generasi sebelumnya.
Padahal beberapa dekade terakhir, seiring masifnya penggunaan teknologi, peresapan arus budaya asing sangat cepat menjalar ke berbagai pelosok. Sedikit demi sedikit memberikan pengaruh nyata. Norma dan adab yang dahulunya dikenalkan turun temurun, diajarkan agar dilaksanakan, pelan tapi pasti terkikis dengan alasan mengikuti tren kekinian.
Akibatnya sesuatu yang melanggar norma yang dulunya dipandang sebagai hal tabu, perlahan dianggap biasa saja. Mereka yang melakukan pelanggaran jadinya merasa tidak ada beban, terlebih tidak ada sanksi yang diberlakukan secara pasti. Hingga akhirnya banyak yang memilih hidup semau sendiri, sesuai hak asasi.
Dan sebagai akumulasi dampaknya dalam jangka panjang, adalah dua sisi generasi yang kita saksikan saat ini. Generasi matang secara fisik, tapi belum secara pemikiran. Besar kemauan, tetapi belum paham jalan meraihnya dengan benar. Walhasil individualisme begitu terasa, kepedulian pada sesama semakin sulit dirasa.
Maka, normalisasi habitat agar generasi semakin beriman, terutama yang muslim ini perlu untuk disegerakan. Bagaimanapun, lingkungan hidup mereka saat ini akan berpengaruh besar terhadap bagaimana jadinya mereka ke depan. Generasi karakter tangguh pada kebenaran dan kebaikan, ataukah generasi rapuh yang sulit bertahan.
Dan untuk mewujudkan normalisasi ini, dibutuhkan dukungan orang tua/keluarga, masyarakat, sekolah, hingga negara. Yang semuanya diharapkan mampu memainkan peran pentingnya, saling bersinergi dan peduli. Saling menguatkan ketaatan, dan saling menasehati untuk meninggalkan kemaksiatan. Pola dan pakem agama dipakai dan diberlakukan dalam setiap ruang lingkungan.
Namun, dari sisi individu remajanya sendiri, juga harus menyesuaikan diri terhadap upaya normalisasi ini. Langkahnya adalah dengan memastikan kuatnya iman dan konsekuensi akan keimanannya. Jika belum mampu sendiri, maka perlu mencari guru yang mampu membatu mengarahkan mengupgrade diri.Â
Kemudian perlu paham juga dengan tujuan hidup sesungguhnya yang cocok dengan habitat imannya. Agar tidak mudah gagal fokus ketika serbuan gaya hidup asing mendekat. Dengan modal iman, kekuatan pandangan tujuan hidup, dan ilmu yang mumpuni, maka remaja diharapkan bisa membalik keadaan. Dari yang memprihatinkan menjadi kebanggaan. []