Setiap muslim lazimnya sangat familiar akan makna yang terkandung di dalam Alquran surat Alahzab ayat 21. Bahwa makna frasa uswatun hasanah yang terdapat dalam ayat tersebut menerangkan perihal suri tauladan pada diri Nabi Muhammad SAW.Â
Suri tauladan dalam hal apa? Tentunya dalam semua hal yang berkaitan dengan urusan hidup. Apa yang ada dalam pribadi beliau, apa yang keluar dari lisan beliau, apa yang menjadi sikap perbuatan dan diamnya beliau, yang semuanya ditujukan sebagai bentuk taqarrub kepada Allah adalah hal yang patut diteladani.Â
Maka sebenarnya menjadikan beliau sebagai suri tauladan sama artinya menjadikan beliau sebagai role model dalam segala urusan hidup. Sehingga lebih tepatnya tidak bisa memilih mana bagian yang disukai untuk diteladani, dan mana yang ndak begitu disukai. Mengapa? Karena pada dasarnya apapun yang keluar dari Rasulullah adalah petunjuk dariNya, wahyu dari zat yang Mahasempurna.Â
Oleh karenanya tidak lengkap jika sekadar menggebu-gebu menirukan beliau dalam urusan ibadah ritual semata. Memaksakan diri mengejar yang sunnah namun di satu sisi belum mengetahui bagaimana keteladanan beliau ketika menjadi pemimpin Madinah.Â
Tidak cukup membahas dan menghafal seputar akhlak beliau, namun di sisi lain meminggirkan bagaimana kepemimpinan beliau dalam mengatur strategi penakhlukan dalam rangka memudahkan penyebaran risalah Islam.Â
Pun tidak sempurna jika fasih membahas teladan beliau ketika menjadi sosok suami terbaik, namun urusan bagaimana beliau memajukan peradaban masyarakat dengan menjalankan urusan hidup berbasis aturan Islam kurang diperhatikan. Sebab pada dasarnya dikatakan menjadikan beliau sebagai role model adalah totalitas ittiba', termasuk dalam ranah kepemimpinan domestik dan publik.Â
Terkait dengan kepemimpinan publik, yakni piawainya Rasulullah dalam mengemban amanah sebagai pimpinan tertinggi selevel kepala negara di Madinah waktu itu, termasuk bagian yang sedikit dibicarakan.
Sebenarnya banyak sekali khazanahnya, namun distorsi sana-sini dari proses sekularisasi akhirnya menyembunyikan sosok kepemimpinan beliau di luar ranah pemimpin spiritual.Â
Padahal, kehebatan beliau sebagai sosok pemimpin publik diakui banyak orang. Dari kalangan kaum kuffar di masa hidup dan sepeinggalan beliau dulu, hingga kalangan orientalis kekinian.Â
Nyata bahwa Nabi Muhammad tidak hanya dipatuhi ketika mengimami sholat semata, namun dalam urusan publik pun, syariat apa saja yang beliau kerjakan dan sampaikan di tengah masyarakat bisa dilaksanakan secara terorganisir oleh pengikutnya. Bahkan ketika beliau sudah tiada sekalipun, pengikutnya terus berkembang, bertambah banyak hingga terwariskan ajarannya pada generasi saat ini.Â
Tidak mengerankan jika Dr. Zuwaimer, orientalis Kanada, dalam bukunya "Timur dan Tradisinya", menuliskan: "Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad adalah pemimpin agama terbesar.Â
Bisa juga dukatakann bahwa dia adalah seorang reformis, mumpuni, fasih, pemberani dan pemikir yang agung." Pengakuan akan kehebatan kepemimpinan Nabi pun diabadikan oleh Michael H. Hart yang memosisikan beliau di urutan nomor 1 dari daftar pemimpin yang berpengaruh di dunia.Â
Lantas karakter kempemimpinan apa yang mengantarkan Nabi Muhammad SAW menjadi the best leadership pattern? Pertama, keberanian beliau untuk menjalankan syariat Islam secara total selama memimpin kekuasaan di Madinah.Â
Nabi sama sekali tidak menggunakan selain dari Islam dalam memutuskan perkara hukum dan yang terkait (lihat QS. AlMaidah ayat 49). Kedua, Nabi menghilangkan tebang pilih dalam pelaksaan hukum bagi setiap orang. Tidak ada yang diistimewakan karena kedudukannya, kekeluargaannya, kerupawanannya, ataupun karena hartanya. Semuanya diperlakukan secara adil. Â
Ketiga, beliau mengutamakan kepentingan rakyat. Apa yang menjadi hajat publik beliau dahulukan, bahkan dalam urusan utang saja beliau siap menjadi pelunasnya bila pengutang meninggal dunia (lihat HR. Ibnu Majah yang terkait).Â
Keempat, beliau menjaga masyarakat dari segala bentuk kriminalitas maupun kecurangan. Sistem uqubat dilaksanakan sepurna, sehingga kejahatan dapat diminimalisir. Kelima, beliau memastikan keadilan dalam urusan peradilan secara rinci, termasuk aturan bagi para hakimnya. Â
Keenam, beliau memastikan nonmuslim yang mematuhi aturan publik Islam dalam perlindungan maksimal. Ketujuh, harta-nyawa-dan kehormatan masyarakat dalam jaminan perlindungan sempurna. Kedelapan, beliau terus menyebarkan dakwahnya ke berbagai wilayah lintas negara melalui utusan yang didelegasikan secara teratur. Hal ini membuat Islam tak hanya dirasakan keagungannya di dalam negeri, tapi dilihat juga cahayanya hingga ke luar negeri.Â
Keseluruhan karakter ini dilaksanakan secara seimbang bersamaan dengan kemampuan beliau menjalani fungsi sebagai ayah, sebagai suami, sebagai pemuka agama sekaligus.Â
Semuanya dilaksanakan semata-mata menjalankan amanah agungnya sebagai pengemban risalah yang harus memberitahukan kepada semua manusia bagaimana menjalani semua urusan hidup sesuai aturan Allah. Maka tak heran jika jejaknya benar-benar membekas dan diakui dunia. Sebab apa yang didedikasikan dengan ikhlas di atas landasan iman, jelas berbeda dengan yang sebatas pencitraan. []Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H