Mohon tunggu...
Arai Jember
Arai Jember Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Katakan Dengan Tulisan Jika Tak Sanggup Berlisan

Menulis itu investasi. Setiap kebenaran tulisan adalah tanaman kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tepat Menyalurkan Naluri Menyayangi

15 Januari 2022   20:10 Diperbarui: 15 Januari 2022   20:15 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kata menyayangi dalam KBBI memiliki makna sayang akan (kepada); mengasihi; mencintai. Setiap orang tentunya sudah lazim mengetahui dan memaknai kata menyayangi. Sebab realisasi dari perbuatan menyayangi ini bisa berupa sikap ramah, senang, menghormati, menghargai, dan memperlakukan apa yang disayangi dengan sebaik mungkin.

Sebenarnya menyayangi merupakan salah satu fitrah yang dimiliki setiap manusia. Ia adalah bagian dari naluri, sifat bawaan, yang pada dasarnya bisa dimunculkan dengan adanya stimulus yang tepat. Keberadaannya tampak timbul tenggelam bergantian dengan naluri mempertahankan diri dan naluri beragama. Tergantung stimulus mana yang lebih kuat.

Maha Baiknya Allah, disamping memberikan potensi hidup manusia berupa naluri-naluri dan kebutuhan jasmani, Allah juga memberikan akal bagi manusia. Yang dengan akal ini, manusia dapat mencerna ilmu sehingga bisa memenuhi naluri dan kebutuhan jasmani dengan cara yang benar.

Iya, cara yang benar, yang sesuai dengan yang Allah turunkan. Misalnya ketika kebutuhan jasmaninya berupa rasa lapar dirasakan, ia akan memenuhinya dengan cara makan. Akalnya akan mengingatkan tentang ilmu yang didapatnya lalu membimbing tentang bagaimana dan apa yang dia makan. Apakah halal, apakah sesuai kaidah makan yang benar?

Misalnya pula ketika naluri menyayanginya bergejolak ingin dipenuhi karena melihat lawan jenis yang menarik, maka akal yang sudah menerima pengajaran kebenaran akan membimbingnya. Akan diarahkan untuk melakukan pernikahan, sehingga nalurinya tersalurkan dengan benar. Bila kemudian lahir keturunan, ilmu yang diingat akan mengarahkan merawat dengan tanggungjawab.

Berbeda dengan binatang, mereka punya naluri yang bisa dilatih, punya kebutuhan jasmani yang perlu dipenuhi, tapi tidak dilengkapi akal. Maka wajar jika ingin makan, binatang bisa ambil apapun yang dia lihat tanpa peduli punya siapa dan halal atau tidak. Makan dengan cara apa saja tanpa peduli adab. 

Begitu juga dalam menyalurkan naluri menyayanginya, binatang tidak peduli halal haram. Mereka bisa saja menyalurkan ke banyak betina atau sebaliknya, tanpa ada ikatan pernikahan. Mereka bisa menganggap keturunannya sebagai rival bertahan hidup ataupun sebaliknya, disayangi.

Yang jelas, naluri dan akal ini bila tunduk pada pengaturan Allah, niscaya akan dapat dilampiaskan dengan benar. Efeknya manusia akan merasa tidak bertentangan dengan fitrahnya. Akan merasakan kebahagiaan juga, karena di satu sisi melakukan sesuatu sesuai perintahNya sehingga bernilai ibadah.

Namun bagaimana bila naluri hanya dipenuhi dengan mengandalkan perasaan? Dituruti tanpa dipikirkan secara jernih dengan kekuatan dalil-dalil yang terkait? Mungkin akan dipenuhi dengan jalan yang salah, yang mungkin juga bertentangan dengan aturan Allah. Bukankah ini berbahaya? Berbuat berdasarkan perasaan semata tanpa mempertimbangkan benar salahnya dalam kacamata agama.

Sebagai misalnya adalah penyaluran lewat zina. Meskipun memakai istilah macam-macam, hakikatnya tetaplah melakukan pemenuhan naluri menyayangi dengan jalan yang salah. Kebahagiaan yang dirasakan hanyalah semu, karena hanya berupa perasaan sesaat, bukan ketentraman karena kesesuaian dengan panduan Allah.

Contoh lainnya adalah pelampiasan rasa mengayomi sebagai orang tua kepada boneka yang dianggap bernyawa. Bukankah benda mati sebenarnya tidak memiliki nyawa? Jika dia dianggap bernyawa apakah benar itu nyawa atau makhluk ghaib lainnya? Sebab dalam firman Allah nyawa orang meninggal ada di alam barzah, tidak bisa kembali ke dunia (lihat QS. Al-Mukminun ayat 99-100).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun