Mohon tunggu...
Ajeng Arainikasih
Ajeng Arainikasih Mohon Tunggu... Sejarawan - Scholar | Museum Expert | World Traveller

Blogger - Writer - Podcaster www.museumtravelogue.com www.ajengarainikasih.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Dunia 2 dan Tiga Versi Narasi di Museum Thailand

15 Februari 2021   10:00 Diperbarui: 15 Februari 2021   10:17 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Swasdi!*

Siapa yang pernah dengar tentang death railway? Kalau bahas Perang Dunia 2 dan Thailand, pasti identik dengan death railway yang dibangun di Thailand dan Myanmar oleh Jepang dengan menggunakan tenaga manual para pekerja paksa dan tawanan perang. Padahal, Thailand di Perang Dunia 2 ternyata adalah sekutu alias teman Jepang! Lalu, narasi museum-museum di Thailand bagaimana? 

Singkat cerita, di awal Perang Dunia 2 Thailand berusaha tetap netral. Namun, Jepang ingin memasuki wilayah Thailand sebagai jalan untuk menginvasi Burma (Myanmar) dan Malaysia. Jepang mengultimatum dan sempat menyerang Thailand selama 5 jam di bulan Desember 1941. Akhirnya, Thailand setuju untuk menjadi sekutu Jepang dan mengizinkan Jepang memasuki wilayahnya untuk keperluan perang. 

Hubungan mereka bilateral, sejajar. Thailand bukan negara boneka Jepang seperti Manchukuo. Namun, pemerintah Thailand terbagi atas 2 fraksi. Ada yang pro-Jepang namun ada pula pihak yang pro-Sekutu dan anti-Jepang. Pihak yang kontra kemudian membentuk Free Thai Movement dan menjadi mata-mata untuk Sekutu serta melakukan sabotase-sabotase terhadap Jepang. Oleh karena "jasa" Free Thai Movement inilah maka Thailand tidak menghadapi konsekuensi/hukuman yang berat pasca Perang Dunia 2. 

The JEATH War Museum, Thailand-Burma Railway Centre, Hellfire Pass Interpretive Centre and Memorial Walking Tour, Kanchanaburi dan Baan Hollanda, Ayutthaya

Selama perang, Jepang membangun jalur kereta api dari Thailand ke Myanmar. Pekerjanya adalah 100.000 pekerja paksa dari Cina, India, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Serta 30.000 tawanan perang berkebangsaan Inggris, Belanda, Amerika dan Australia. 

Para pekerja banyak yang meninggal karena beratnya pekerjaan (bekerja 18 jam sehari). Mereka juga disiksa oleh Jepang, kelaparan, ataupun terkena penyakit disentri dan kolera, hingga jalur ini dikenal dengan nama death railway. Jalur kereta membentang dari Nong Pladuk Ratchaburi Pass ke Kanchanaburi dan memasuki perbatasan Burma di Sangkhlaburi. Total panjang jalur kereta adalah 263 km di Thailand dan 152 km di Burma (total 415 km). 

Salah satu medan paling berat adalah Konyu Cutting atau Hellfire Pass di daerah Kanchanaburi (Thailand). Keseluruhan jalur kereta ini selesai dibangun dalam waktu 16 bulan. Kini, rute kereta hanya dibuka antara Bangkok dan Nam Tok Sai Yok Noi. 

Museum-museum mengenai death railway ini tampaknya merupakan yang paling dikenal terkait sejarah Perang Dunia 2 di Thailand. The JEATH War Museum (didirikan tahun 1977) adalah singkatan dari Jepang, England, Australia/America, Thailand dan Holland. Museumnya semi terbuka di bangunan yang juga semi permanen untuk menunjukkan model bangunan bambu tempat tinggal para pekerja paksa/tawanan perang. 

Museum juga memamerkan foto-foto, lukisan, dan peralatan yang mengilustrasikan kehidupan para pekerja paksa dan tawanan perang dalam proses pembangunan jalur kereta. Ada pula display bom-bom sisa-sisa perang. Walaupun demikian, museum tidak bermaksud untuk menebar kebencian, justru ingin mempromosikan perdamaian dunia di kemudian hari dari pelajaran perang yang sudah lewat. 

Museum lain yang membahas death railway adalah Thailand-Burma Railway Centre, Kanchanaburi. Museum menceritakan mengenai sejarah death railway dengan cukup lengkap. Dimulai dari display rekonstruksi jembatan kayu sebagai jalur kereta, lalu museum menceritakan secara singkat mengenai latar belakang perang dan asal usul para pekerja paksa serta tawanan perang. Kemudian, museum membahas mengenai perencanaan, teknik konstruksi jalur kereta dan logistik yang dimiliki Jepang. Museum juga menggambarkan rute jalur kereta dan lokasi kamp pekerja. 

Kondisi kehidupan pekerja juga diceritakan. Termasuk kondisi layanan medis saat itu, serta jumlah dan asal korban yang tewas saat pembangunan jalur kereta. Lalu, diceritakan pula bagaimana jalur tersebut digunakan Jepang untuk memobilisasi orang dan barang dari dan ke Burma, dan nasib "akhir" dari rel tersebut: yakni ada bagian-bagian yang di bom oleh Sekutu. 

Sebagai penutup, diceritakan pula proses pembebasan para tawanan dan para pekerja paksa, serta repatriasi mereka ke daerah asalnya. Juga proses pencarian jasad para korban dan pendirian makam perang di Kanchanaburi (Thailand)  dan Thanbyuzayat (Burma/Myanmar). Terakhir, dijelaskan mengenai penyerahan jalur kereta ke pemerintah Thailand tahun 1947.

Selain itu, ada pula Hellfire Pass Interpretive Centre and Memorial Walking Tour di Kanchanaburi yang didirikan dan disponsori oleh pemerintah Australia. Museum didirikan tahun 1998 atas "prakarsa" Tom Morris, salah seorang "survival" tawanan perang Australia. Museum didirikan untuk komemorasi dan menghormati para korban tawanan perang Australia dan kebangsaan lainnya serta para pekerja paksa. Museum dibuka oleh PM Australia saat itu, John Howard. Sebagai bagian dari museum, ada pula program walking tour melewati Hellfire Pass itu sendiri yang dipandu dengan audio tour berisi memori oral history dari para survivor tawanan perang. 

Bahkan, atas permintaan Kerajaan Belanda, di Baan Hollanda di Ayutthaya diceritakan pula mengenai penderitaan orang-orang Belanda yang menjadi tawanan perang dan ikut membangun death railway. Baan Hollanda adalah semacam open air museum berupa heritage village di tepi Sungai Chao Phraya (yang merekonstruksi pemukiman zaman dulu). Museum ini menceritakan tentang 400 tahun hubungan baik antara Belanda (sejak zaman VOC) dan Thailand (sejak zaman Kerajaan Ayutthaya).  Secara finansial, museum didanai oleh pihak swasta dan Kerajaan Belanda. 

Japanese Village Museum, Ayutthaya dan Thai-Japan Friendship Memorial, Khun Yuam

Seperti Baan Hollanda, ada juga museum serupa yang narasinya menceritakan persahabatan antara Thailand dan Jepang. Yakni, Japanese Village Museum (open air museum) yang berlokasi di tepi Sungai Chao Phraya, Ayutthaya. Museum ini adalah museum swasta yang di dukung secara finansial oleh Pemerintah Jepang. 

Tahun 1935   Thai-Japanese Association didirikan di Bangkok. Dari dokumen tua VOC, lokasi pemukiman Jepang di zaman Kerajaan Ayutthaya (abad 17) dapat diketahui. Pemukiman tersebut berukuran 1 km x 0,5 km dan berlokasi di dekat pemukiman komunitas orang asing lainnya saat itu seperti Belanda, Portugis dan Inggris. Daerah tersebut kemudian dikembangkan menjadi memorial site. 

Tahun 1987 dibangun sebuah gedung utama untuk museum. Kini, museum terdiri atas 2 bangunan (untuk tata pamer dan fasilitas museum lainnya), taman terbuka, serta dermaga di tepi sungai dan patung Yamada Nagamasa. Yamada Nagamasa adalah orang Jepang yang berperan penting di Kerajaan Ayutthaya. Kini di salah 1 gedung museum dipamerkan mengenai kisah Yamada Nagamasa tersebut (berserta peran Thao Thong Kib Ma) di Kerajaan Ayutthaya. 

Tata pamer museum tentu saja menggunakan new media technology. Sedangkan secara umum di lokasi taman museum ada virtual reality street museum sehingga pengunjung bisa melihat situasi di pemukiman tersebut di masa lalu secara digital. 

Selain itu, ada pula museum yang menceritakan persahabatan Thailand - Jepang di masa Perang Dunia 2, yakni Thai-Japan Friendship Memorial di Khun Yuam. Museum ini dulunya bermama Khun Yuam World War II Japanese War Museum. Museum  didirikan tahun 1996 atas prakarsa Deputi Polisi setempat. Saat itu, beliau menemukan bahwa setiap rumah di daerah tersebut pasti memiliki benda memorabilia terkait tentara Jepang. 

Ternyata, ribuan tentara Jepang yang habis kalah berperang di (Battle of) Imphal, India, kembali ke Thailand dan sempat bermukim selama beberapa tahun di Khun Yuam di Utara Thailand. Hubungan tentara Jepang dan rakyat setempat pun sangat baik. Beberapa bahkan menikahi wanita lokal. Kini museum tersebut didanai oleh Pemerintah Jepang. Pamerannya dalam bahasa Inggris, Thai dan Jepang. 

Di luar museum ditampilkan kendaraan-kendaraan bekas perang. Sedangkan di sisi dalam museum dipamerkan video singkat sejarah daerah tersebut, foto-foto interaksi antara tentara Jepang dan penduduk lokal, uang zaman Jepang, senjata, mantel, dompet, dan tas milik para tentara Jepang. Narasi pro-Jepangnya tampak berbeda dibandingkan dengan museum-museum di Kanchanaburi yang menampilkan kekejaman tentara Jepang. 

Seri Thai Museum, Phrae

Terakhir, ada pula museum yang menceritakan tentang gerakan bawah tanah pihak Thailand yang anti-Jepang: Seri Thai Museum. Seri Thai Museum atau yang berarti Free Thai Movement Museum berada di kota kecil Phrae dan merupakan museum swasta. Didirikan oleh Phuchong Kantatham, anak dari Thong Kantatham, mantan pemimpin Free Thai Movement dari Phrae. 

Museum ini terletak di bangunan rumah kayu, dan menceritakan tentang operasi gerakan bawah tanah Free Thai Movement (resistensi anti-Jepang yang juga berperan sebagai mata-mata inteligen Sekutu) yang berpusat di Kota Phrae. Benda-benda yang dipamerkan antara lain radio, peralatan berkemah, seragam dan gambar-gambar yang mengilustrasikan beberapa operasi mereka. Terakhir, ada replika bom atom yang dijatuhkan ke Jepang. 

Kalau menurut teman saya, orang Thailand yang bekerja di salah satu museum di Thailand, narasi ofisial pemerintah Thailand terkait Perang Dunia 2 adalah: Thailand "terpaksa" membuka wilayahnya untuk Jepang. Namun, Thailand juga berperan dalam "melawan" Jepang bersama Sekutu karena saat itu ada gerakan bawah tanah yang melakukan resistensi anti-Jepang. Hmm...

Saya jadi kepikiran, di Thailand banyak sekali museum yang narasinya menceritakan tentang penderitaan para tawanan perang Eropa saat membangun death railway. Mungkinkah hal tersebut secara "terselubung" dilakukan untuk menunjukkan keberpihakan kepada pihak yang "menang perang"? 

Selain itu, yang menjadi fokus biasanya tawanan perang berkebangsaan Eropa. Padahal, jumlah tawanan perang Eropa jauh lebih sedikit dari jumlah para pekerja paksa berkebangsaan Asia, lho. Menariknya lagi, semua museum yang menampilkan 3 narasi berbeda ini tidak ada yang didanai oleh pemerintah Thailand. Semuanya adalah museum swasta, atau didanai oleh negara lain: Australia, Belanda, Jepang. 

Sungguh menarik ya kaitan antara sejarah, politik, hubungan internasional dan museum di Thailand ini! 

*Swasdi artinya halo dalam Bahasa Thai.

Disclaimer: tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di blog pribadi penulis: www.museumtravelogue.com. Juga tersedia dalam bentuk rekaman podcast di akun #MuseumTravelogue Talk yang dapat didengarkan di Spotify, Anchor, Google Podcasts, ataupun Apple Podcasts.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun