Mohon tunggu...
Ajeng Arainikasih
Ajeng Arainikasih Mohon Tunggu... Sejarawan - Scholar | Museum Expert | World Traveller

Blogger - Writer - Podcaster www.museumtravelogue.com www.ajengarainikasih.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Dunia 2 yang Kurang Terepresentasi di Museum Myanmar

14 Februari 2021   10:00 Diperbarui: 14 Februari 2021   10:22 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Haallo!

Kalau mau bicara tentang pendudukan Jepang dan Perang Dunia 2 di Asia Tenggara, memang rasanya paling pas untuk memulai dari Myanmar. Tapi, ketika saya googling tentang sejarah Perang Dunia 2 di Myanmar dan tentang museum-museum yang menceritakan kisahnya, duh, rasanya seperti mencari jarum dalam jerami! 

Sejarah Perang Dunia 2 Myanmar yang kompleks dan complicated tampak kurang terekam di museum-museum Myanmar saat ini. Sebelum Perang Dunia 2 Myanmar (Burma) adalah koloni Inggris. Tahun 1942 Burma menjadi daerah jajahan Jepang. Awalnya, tokoh-tokoh pemimpin Burma pro-Jepang demi kemerdekaan mereka dari dijajah oleh Inggris. Jepang pun melatih (militer) 30 orang lokal untuk menjadi pemimpin Burma Independence Army (BIA). Konsepnya mungkin mirip tentara PETA di Indonesia kali ya? 

Tahun 1943 Burma kemudian "mendeklarasikan kemerdekaannya" di bawah Jepang (tetapi menjadi negara boneka Jepang). Namun, belakangan mereka "berbalik" dan juga melawan Jepang. Selama periode Perang Dunia 2, selain orang Burma, ada pula pihak Inggris (dan India), Cina, dan Amerika Serikat yang berperang melawan Jepang di wilayah Burma (Burma Campaign). 

Bahkan, etnis minoritas Burma juga berkonflik dengan etnis mayoritasnya (dan tentu saja juga berkonflik dengan Jepang). Ada pula tragedi pembunuhan masal yang dilakukan oleh Jepang/etnis mayoritas Burma terhadap etnis minoritas di pegunungan. 

Pasca Perang Dunia 2, Burma (kini Myanmar) memang menjadi negara yang merdeka dari Inggris, namun mereka mengalami perang saudara sampai dengan berpuluh-puluh tahun sesudahnya. Kini, Myanmar pun menjadi salah satu negara yang paling tertutup dan terisolasi di dunia. 

Ketika saya mencari di search engine, museum-museum di Myanmar tampaknya lebih banyak berupa museum yang menampilkan kebudayaan. Mungkin untuk mengangkat beragamnya etnis di Myanmar mengingat mereka tidak ada habisnya berperang saudara? Namun, hampir tidak ditemukan museum yang menceritakan tentang sejarah Perang Dunia 2 di Myanmar. 

Death Railway Museum, Thanbyuzayat

Death Railway Museum sepertinya adalah satu-satunya museum yang benar-benar menceritakan tentang penjajahan Jepang di Myanmar. Museum ini berada di Thanbyuzayat dan menceritakan tentang pembuatan jalur kereta api legendaris yang menghubungkan Thailand dan Myanmar selama Perang Dunia  2. 

Jalur kereta ini dibuat oleh para pekerja paksa (berkebangsaan Asia) dan tahanan perang Jepang (antara lain berkebangsaan Belanda, Inggris, Australia dan Amerika Serikat). Pembuatan jalur kereta ini sangat memakan korban jiwa sehingga dinamakan death railway. 

Kini, koleksi masterpiece museum adalah jalur kereta dan lokomotif kereta Jepang zaman Perang Dunia 2. Di museum dipamerkan juga foto-foto dan lukisan 3D rute jalur kereta. 

Stilwell (Road) Museum, Cina

Padahal, selain death railway, sebetulnya di Myanmar juga terbentang 1.000 km (dari 1.726 km) Stilwell Road. Jalan utama yang dibuat dan digunakan Sekutu untuk menahan dan mengalahkan Jepang di Cina selama Perang Dunia 2. Namun, dua museum mengenai Stilwell Road ini malah ada di Cina dan bukannya di Myanmar. 

Stilwell Museum ada di Chongqing, Cina. Museum ini adalah rumah 3 lantai kediaman Joseph Stilwell, Jenderal Amerika Serikat yang memimpin pembangunan jalan. Museum ini dibuka tahun 1994 dan dikelola oleh pemerintah kota Chongqing. Namun, secara finansial museum di dukung suntikan dana dari Joseph Stilwell Institute Foundation di Amerika Serikat. 

Selain itu, tahun 2020 juga direncanakan untuk dibuka Stilwell Road Museum di Tengchong City, Cina. Museum ini akan memamerkan benda-benda peninggalan Perang Dunia 2 yang berkaitan dengan Stilwell Road.  Termasuk truck, jeep dan alat-alat konstruksi. Sebagian besar objeknya merupakan koleksi Zhou Shicai, seorang kolektor lokal. Namun, hingga kini belum ada kabar lagi mengenai pembukaan museum tersebut.

Defense Service Museum, Naypyidaw

Kembali ke Myanmar, museum lain yang berkaitan dengan Perang Dunia 2 di Myanmar adalah Defense Service Museum di Naypyidaw. Museum ini sebetulnya museum militer yang - kalau dilihat dari review TripAdvisor - banyak menampilkan pesawat dan kendaraan militer lainnya. Museum ini baru dipindah ke Naypyidaw tahun 2011 setelah sebelumnya berada di Yangon. Museum terdiri dari area indoor dan outdoor, di area seluas 200 hektar! 

Pamerannya membahas angkatan darat, laut dan udara Myanmar dari masa perjuangan kemerdekaan hingga saat ini. Tentu saja museum juga membahas mengenai 30 orang  (30 comrades) yang dilatih militer oleh Jepang untuk memimpin Burma Independence Army untuk melakukan resistensi terhadap Inggris. 

Apabila membaca dari artikel di surat kabar Myanmar Times, disebutkan bahwa di museum, tentara-tentara yang dilatih oleh Jepang tersebut malah sangat kritis terhadap Jepang ketimbang pro-Jepang. Menarik ya! Kalau membahas Asia Tenggara di Perang Dunia 2 memang banyak "layers" dan kepentingan banyak pihak yang berbeda. 

Bogyoke Aung San Museum, Yangon

Museum lain yang masih berhubungan dengan Perang Dunia 2 mungkin adalah Bogyoke Aung San Museum di Yangon, ibukota Myanmar. Museum ini merupakan tempat tinggal Aung San terakhir sebelum  beliau dieksekusi tahun 1947. 

Museum rumah 2 lantai bergaya vila kolonial yang dibangun tahun 1921 ini sebetulnya sudah dibuka sejak tahun 1962. Namun, dalam rangka memarjinalisasi Aung San Suu Kyi (anak Aung San) oleh pemerintah militer Myanmar, museum hanya dibuka secara sangat terbatas. Baru di tahun 2012 museum "dibuka kembali" untuk umum dan masuk dalam Yangon City Heritage List. 

Bogyoke Aung San adalah politisi dan dan salah seorang tokoh pemimpin kemerdekaan Myanmar terhadap kolonial Inggris. Ia juga merupakan salah satu dari 30 orang yang dilatih secara militer oleh Jepang untuk memimpin BIA. Awalnya, beliau pro-Jepang, namun kemudian berbalik melawan Jepang. 

Museum ini menceritakan tentang kehidupan sang Jenderal dan memamerkan benda-benda memorabilia nya seperti pakaian, buku, perabotan dan foto-foto keluarga serta mobilnya. Di museum juga dipamerkan pidato-pidato Aung San dan tulisan tangannya (catatan/surat) untuk istrinya, Khin Kyi. Di halaman museum bahkan ada patung sang Jenderal yang sedang berkebun! Unik ya! 

Kurangnya representasi Perang Dunia 2 di museum-museum di Myanmar mungkin disebabkan oleh kompleksnya sejarah Perang Dunia 2 di Myanmar. Apalagi ditambah Myanmar mengalami konflik perang saudara berkepanjangan (bahkan hingga berpuluh-puluh tahun) pasca Perang Dunia 2. 

Mungkinkah Perang Dunia 2 jadi isu yang sensitif dan kontroversial hingga sulit direpresentasikan di museum-museum di Myanmar? What do you think?

Disclaimer: tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di blog pribadi penulis: www.museumtravelogue.com. Juga tersedia dalam bentuk rekaman podcast di akun #MuseumTravelogue Talk yang dapat didengarkan di Spotify, Anchor, Google Podcasts, ataupun Apple Podcasts.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun