Selain itu, Paviliun Aceh juga menampilkan kesenian seperti tari-tarian. Paviliun Aceh kemudian memenangkan banyak penghargaan sehingga Gubernur Swart dan Stammeshaus memutuskan untuk membawa pulang lagi Rumoh Aceh tersebut ke Koetaradja (kini Banda Aceh) dan menjadikannya museum.Â
Museum Aceh, dalam bentuk rumah tradisional Aceh, kemudian diresmikan oleh Gubernur Swart di Koetaradja (Banda Aceh) pada tahun 1915, dan F.W. Stammeshaus merupakan kurator pertamanya.Â
Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad bahkan memberitakan mengenai dibukanya Museum Aceh. Disebutkan bahwa museum menampilkan kerajinan Aceh yang sangat indah, dan museum sangat "worth seeing". Â
Apabila dilihat dari foto-foto lama, benda-benda koleksi ditampilkan di dalam lemari kaca yang diletakkan di dalam Rumoh Aceh tersebut. Saat itu museum memamerkan koleksi pribadi milik Stammeshaus, walaupun di kemudian hari Stammeshaus juga membeli dan mendapatkan koleksi lain untuk museum selain benda-benda pribadinya.
Di tahun 1931, ketika Stammeshaus harus kembali ke Belanda, awalnya ia berniat menjual koleksi pribadinya untuk Museum Aceh dan meninggalkannya di Aceh. Namun, pemerintah Aceh saat itu (yang sudah bukan Gubernur Swart) tidak tertarik untuk membeli koleksi Stammeshaus.Â
Akhirnya, koleksi Stammeshaus dibeli oleh Koloniaal Instituut di Amsterdam (sekarang Tropenmuseum). Museum Aceh tetap memiliki koleksi, tetapi bukan koleksi pribadi Stammeshaus.Â
Saat ini bangunan Rumoh Aceh tersebut sudah dipindahkan dari tempat awalnya, namun masih berdiri kokoh di komplek halaman Museum Aceh sekarang. Kini, sebagai museum provinsi, Museum Aceh tentunya memiliki gedung pameran tetap dan tata pameran yang baru (dan bangunan-bangunan penunjang lainnya).Â
Rumoh Aceh tidak lagi menjadi ruang pameran utama seperti di masa kolonial dulu. Namun, rumah tersebut menjadi bagian dari koleksi Museum Aceh. Bangunan Rumoh Aceh juga berfungsi untuk menampilkan interior dan perabotan seperti layaknya di rumah tradisional Aceh.Â
Selain Museum Aceh, salah satu bangunan di Museum Bali, Denpasar, juga merupakan paviliun yang dibuat untuk Koloniale Tentoonstelling di Semarang tahun 1914.Â
Menurut Th. A. Resink di dalam tulisannya di Majalah Djawa tahun 1938, Paviliun Buleleng yang dibuat untuk pameran kolonial  di Semarang tahun 1914 kemudian dibeli oleh Museum Bali, untuk dipergunakan sebagai salah satu bangunan ruang pamer di dalam komplek museum.Â
Apabila dilihat dari keterangan di museum, paviliun Buleleng "bergabung" menjadi bagian dari Museum Bali di tahun 1932.Â