"Australia negeri wool (katanya... katanya...)Â Aborigin sukunya (katanya... katanya...)Â Boomerang senjatanya (wow... wow..)Â Kangguru binatangnya"
Waktu saya kecil, dipertengahan tahun 1990-an (yah jadi ketahuan deh umurnya, hehe...) potongan lagu diatas, yang dinyanyikan oleh grup penyanyi cilik ternama saat itu, terkenal sekali.Â
Aborigin, begitulah saya biasa menyebut penduduk suku asli Australia. Namun, di akhir tahun 2000-an ketika saya kuliah di Australia, penyebutan Aborigin (yang mengacu kepada penyebutan orang) ternyata dianggap rasis dan tidak sopan. Term yang benar adalah Indigenous Australian (and the Torres Strait Islanders). Â
Nah, di tulisan ini saya ingin menceritakan mengenai bagaimana penduduk asli Australia tersebut ditampilkan di 3 museum di Adelaide, South Australia.Â
Tepatnya di Migration Museum, Art Gallery of South Australia, dan South Australian Museum. Saya juga akan membahas bagaimana ketiga museum tersebut berusaha berperan dalam menghilangkan inequality terhadap penduduk asli Australia.Â
Kebetulan bulan Mei bertepatan dengan Hari Museum Internasional (International Museum Day) dan tahun ini tema besarnya adalah "Museums for Equality: Diversity and Inclusion".Â
Migration Museum, Adelaide
Didirikan tahun 1986, museum ini bertujuan untuk merayakan multikulturalisme di South Australia.Â
Bertempat di satu komplek yang terdiri atas beberapa bangunan tua, museum ini menceritakan sejarah dari sudut pandang personal dan komunitas. Bukan dari sudut pandang top-down versi sejarah pemerintah seperti museum-museum di Indonesia pada umumnya.Â
Menurut saya, saat itu Migration Museum sudah memiliki program-program edukasi dan program publik yang sangat keren! Migration Museum sudah bekerja sama dan memiliki hubungan yang baik dengan berbagai komunitas masyarakat di Australia Selatan.Â
Dulu, di tahun 2007/2008, tata pamer Migration Museum juga sudah dirancang dengan interaktif. Misalnya, pengunjung dapat membuka/tutup laci dan lemari display, memutar-mutar display di lantai, atau bermain game untuk membahas suatu isyu.Â
Tata pamer museum diawali dengan sedikit membahas mengenai South Australia sebagai settlement bagi penduduk asli yang "kedatangan" imigran.Â
Lalu cerita berlanjut dan mengambil sudut pandang dari sisi orang Eropa. Yakni menceritakan kedatangan orang Inggris dan Jerman ke South Australia di abad 19.Â
South Australia sangat bangga dengan sejarah mereka sebagai free-settler. Maksudnya, orang-orang Eropa yang pertama kali datang ke negara bagian South Australia adalah orang-orang bebas, bukan narapidana dan orang buangan seperti di negara bagian lain.Â
Lalu, cerita mengenai imigran dan refugee dari berbagai penjuru dunia yang datang dan bermukim di South Australia di abad 20 dan 21 juga dibahas. Di bagian ini saya paling suka permainan "White Australian Policy".Â
Pengunjung harus membaca pernyataan terkait kebijakan-kebijakan imigrasi  Australia di awal abad 20, lalu pengunjung harus memencet tombol untuk mendapatkan jawabannya. Misalnya, ada pernyataan "You are white British migrant" yang kalau dipencet tombolnya akan keluar lampu hijau bertuliskan "Welcome to Australia".Â
Tetapi, pernyataan "You are Asian" jawabannya langsung lampu merah! TET TOOT! "Come Back to Your Country!". Tandanya, orang Asia tidak diizinkan untuk bermigrasi ke Australia di awal abad 20.
Kini, apabila melihat di website museum, tata pamer permanen museum sudah diubah di tahun 2014. Tema pameran permanen bertajuk "Leaving Britain and Establishing South Australia" serta "Immigration in the 20th Century" masih ditampilkan.Â
Namun, ada juga tema "Superdiversity: 21st Century Migration" dan "Impact". Â "Impact" merupakan pameran karya seni karya Darryl Pfitzner Milika yang membahas mengenai efek dari adanya imigrasi dan kolonialisme terhadap penduduk asli di South Australia.Â
Di tahun 2007/2008 pameran ini memang sudah ada, tapi tampilannya berbeda. Pamerannya menceritakan mengenai sejarah lokasi dan bangunan museum.Â
Awalnya di tahun 1845-1851 komplek bangunan museum dijadikan Native School, yakni sekolah bagi anak-anak Indigenous Australians agar mereka belajar agama dan budaya Barat. Selanjutnya, komplek museum dijadikan tempat penampungan (termasuk RS Bersalin) bagi perempuan dan anak-anak terlantar.Â
Paling tidak, sejak tahun 2007/2008 cerita mengenai penduduk asli sudah diberikan tempat di Migration Museum ini. Walaupun  museum juga banyak membahas mengenai migrasi pendatang ke Australia, terutama dari Eropa.Â
Kelihatan sekali kalau Migration Museum sudah berusaha menjadi museum yang inklusif, yang menceritakan sejarah sosial dari berbagai sudut pandang, termasuk komunitas yang termarjinalkan.Â
Hubungan antara Migration Museum dengan komunitas juga tampaknya masih berjalan dengan baik. Kalau mengintip ke program-program publik Migration Museum, terlihat museum banyak bekerjasama dengan seniman dari latar belakang indigenous Australians.Â
Misalnya, museum pernah mengangkat isyu mengenai Stolen Generations dan menampilkannya dalam pameran temporer berbentuk pameran lukisan.Â
Sebagai catatan, Stolen Generations adalah term yang digunakan untuk menyebut  anak-anak Indigenous Australians (dan/atau mixed descents) yang dipisahkan dari keluarganya (antara tahun 1910-1970) oleh pemerintah Australia atau misionaris gereja, dalam rangka memisahkan mereka dari akar kebudayaannya (agar menjadi White Australians).Â
Selain itu, museum juga pernah menampilkan indigenous performers di festival seni, serta menyelenggarakan artist's talk dan workshop dengan tema tertentu (misalnya workshop melukis atau menganyam keranjang ala penduduk asli Australia).Â
Art Gallery of South Australia, Adelaide
Kebetulan kampus saya juga bekerja sama dengan AGSA dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan perkuliahan. Jadi, saya cukup sering menghabiskan waktu di AGSA. Â
AGSA terkenal memiliki koleksi Australian Indigenous Art yang "cukup lengkap". Kalau baca di website mengenai sejarah AGSA, disebutkan bahwa AGSA merupakan state gallery pertama di Australia yang membeli karya seni dari seniman Indigenous Australian di tahun 1939. Walaupun, baru setelah tahun 1950-an pembelian koleksi terkait Australian Indigenous Art dilakukan secara lebih sistematis.Â
Setahu saya di AGSA ada lukisan-lukisan cat air karya Albert Namatjira (b. 1902 - d. 1959). Albert Namatjira merupakan salah satu seniman Indigenous Australia yang cukup ternama karena gaya lukisannya yang berbeda. Di tahun 1930-1950-an ia sudah melukis pemandangan Australia menggunakan cat air dalam gaya lukisan Eropa.Â
AGSA juga punya koleksi lukisan-lukisan akrilik karya Emily Kame Kngwarreye (b. 1910 - d. 1996), seniman kontemporer Indigenous Australia dari Northern Territory yang terkenal dengan lukisan-lukisan yam dreaming-nya.Â
Karya-karya Rover Thomas (b.1926 - d. 1998), pioneer indigenous artist dari Kimberley di Western Australia juga menghiasi ruang pamer dan ruang penyimpanan koleksi AGSA.Â
Bahkan, di salah satu kegiatan perkuliahan, saya pernah harus menebak judul lukisan dan menginterpretasi lukisan karya Ian W. Abdulla (b. 1947 - Â d. 2011), seniman Indigenous Australia yang berasal dari South Australia. Ian Abdulla terkenal dengan gaya melukis storytelling.Â
Ia biasa menceritakan kehidupan masa kecilnya menangkap ikan, menangkap tikus, atau mengumpulkan telur angsa di tepi Sungai Murray. Kegiatan masa kecilnya tersebut kemudian divisualisasikan dalam bentuk lukisan yang dilengkapi dengan tulisan cerita singkat di lukisannya.Â
Tentu saja masih banyak lagi karya-karya seniman Indigenous Australia lainnya yang menjadi koleksi AGSA dan tidak bisa saya paparkan satu persatu disini.Â
Namun, saya ingat, ketika saya kuliah di Adelaide dahulu, AGSA memamerkan karya-karya tersebut di ruangan yang berbeda dengan karya-karya pelukis non-Indigenous Australia.Â
Saat itu tata pamer permanen di AGSA dibagi menjadi beberapa bagian sesuai area atau karakter lukisan: European Art, Australian Art, Australian Indigenous Art, Asian Art dan Decorative Art.Â
Kini, apabila "mengintip" di website AGSA, tata pamer museum sudah diubah. Karya-karya seniman Australia kulit putih maupun indigenous artists tidak lagi dipisah-pisah dalam ruangan yang berbeda, tetapi dicampur dijadikan satu.Â
Ditata sesuai kronologi sejarah nasional Australia. Selain itu, informasi di website AGSA juga ada yang dialih-bahasa-kan kedalam Bahasa Kaurna, bahasa penduduk asli di Adelaide. Dan sejak tahun 2015 AGSA setiap tahun selalu menyelenggarakan Tarnanthi, Festival of Contemporary Aboriginal and Torres Strait Islanders Art.Â
Dua belas tahun berlalu sejak saya lulus kuliah, kini saya melihat bahwa AGSA tampaknya cukup berubah. AGSA menjadi lebih peduli dengan Australian Indigenous Art, lebih mengangkat, menghormati, dan berusaha menjadikannya sejajar dengan Australian Art secara umum. Â
South Australian Museum, Adelaide
Museum ini berada tepat di sebelah Art Gallery of South Australia dan sudah eksis sejak tahun 1856. Berhubung awalnya SAM adalah museum yang berdiri di era kolonial Australia, maka konsep tata pamernya sangat "kolonial". Maksudnya bagaimana?
Di tahun 2007/2008 tata pamer permanen SAM antara lain menampilkan offset hewan-hewan dan tulang-tulang binatang (termasuk binatang purba), batuan dan mineral, benda-benda etnografi penduduk asli Australia, benda-benda etnografi dari daerah Pasifik, dan artefak-artefak dari Mesir.Â
Random banget ya? Ya, karena konsep pada masa kolonial adalah museum mengumpulkan spesimen alam dan benda-benda budaya yang dianggap eksotis. Lalu, semakin scoop nya internasional semakin keren museumnya.Â
Orang Australia kulit putih sama sekali tidak ditampilkan di museum ini karena "derajatnya" dianggap lebih tinggi dari penduduk asli. Jadi, cerita sejarah mereka tidak ada di Museum Sejarah Alam.Â
Kini, SAM berubah total. SAM merupakan salah satu contoh museum yang berusaha untuk inklusif dan berperan dalam redress inequality. SAM memperlakukan koleksinya yang berkaitan dengan sacred objects dan indigenous human remains dengan respek, berbeda dengan menangani koleksi biasa.Â
Human remains disini maksudnya adalah tubuh / potongan tubuh / tengkorak atau tulang manusia, kecuali gigi, darah dan rambut.Â
Akses terhadap koleksi bagi indigenous community juga terbuka lebar. SAM membuka pintu terhadap Indigenous Australians, terutama Stolen Generations, untuk melacak asal-usul mereka melalui database penelitian antropologi yang pernah dilakukan tahun 1926-1971.Â
SAM bahkan berupaya untuk merekrut pegawai-pegawai yang berasal dari latar belakang Indigenous Australians.Â
Selain itu, SAM bekerja sama dengan komunitas Indigenous Australians untuk meriset dan menginterpretasi koleksi mereka. SAM juga sudah pernah merepatriasi koleksi ancestral remains dan sacred objects yang awalnya disimpan di museum untuk dikembalikan ke beberapa komunitas, misalnya ke etnis Kaurna di Holdfast Bay tahun 2019 lalu.Â
Tampaknya apa yang dilakukan oleh Migration Museum, Art Gallery of South Australia dan South Australian Museum di Adelaide terhadap Indigenous Australians sangat cocok dengan tema International Museum Day 2020.  "Museums for Equality: Diversity and Inclusion".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H