Bulan April biasanya diperingati sebagai Genocide Awareness Month, sebab, hampir semua peristiwa genosida di dunia di mulai di bulan April. Salah satunya adalah genosida terhadap orang-orang Armenia yang dimulai di bulan April 1915.
Kebetulan, di tahun 2012 saya berkesempatan berkunjung ke Yerevan, Armenia, dalam rangka berbicara di konferensi internasional mengenai museum.
Di sela-sela jadwal hari terakhir konferensi yang agak lowong, teman saya dari Singapura (sesama presenter konferensi) mengajak saya mengunjungi Armenian Genocide Museum. Diajak jalan-jalan ke museum? Mana mungkin saya bisa menolak!
Berhubung pada masa itu akses internet bagi turis di luar negeri belum semudah sekarang, maka saat itu saya tidak bisa mencari informasi lebih dalam mengenai apa itu Armenian Genocide Museum.
Jujurnya saya sama sekali buta dengan sejarah Armenia, dan saat itu saya tidak tahu menahu mengenai peristiwa genosida yang menimpa mereka hampir satu abad silam.
Saya dan teman saya tersebut juga trauma naik taksi di Yerevan karena kami pernah diputar-putar keliling kota oleh supir taksi. Oleh sebab itu, kami memutuskan untuk pergi ke Armenian Genocide Museum naik angkutan umum.
Bermodalkan kertas petunjuk alamat berbahasa Armenia yang dituliskan oleh petugas hostel, kami kemudian naik kendaraan semacam “angkot” untuk menuju ke Armenian Genocide Museum.
Armenian Genocide Museum ternyata terletak di atas bukit yang agak jauh dari pusat kota Yerevan. Berdasarkan petunjuk dari petugas hostel, supir “angkot” kemudian menurunkan kami dipinggir jalan sebelum “angkot” memasuki semacam jalan bebas hambatan. Kami lalu harus berjalan kaki cukup jauh sambil menaiki bukit sebelum akhirnya tiba di museum.
Selain museum, ada pula memorial monument yang berada di satu lokasi yang dengan museum. Bangunan Armenian Genocide Museum sendiri didesain secara modern dan dibuka tahun 1995 dalam rangka memperingati 80 tahun peristiwa pembunuhan masal 1,5 juta orang Armenia di sekitar tahun 1915 oleh Kekaisaran Turki Ottoman.
Awalnya, pembunuhan masal dilakukan terhadap tentara-tentara Armenia. Lalu terhadap orang-orang “penting” Armenia yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat.
Terakhir, pembantaian dilakukan terhadap wanita, anak-anak dan lansia. Tanpa mengetahui fakta ini sebelumnya, saya dengan santai memasuki ruang pamer museum.
Tata pamer museum awalnya menceritakan mengenai wilayah Armenia dan kehidupan masyarakat Armenia di era Kekaisaran Ottoman sebelum peristiwa pembantaian terjadi melalui peta di dinding.
Lalu alur cerita pun beralih ke peristiwa pembantaian, lengkap dengan ilustrasi gambar dan foto-fotonya. Jujurnya, saat itu saya agak shock saat menerima informasi yang disampaikan di museum karena saya betul-betul tidak punya bayangan akan peristiwa yang terjadi.
Walaupun kini saya sudah tidak ingat lagi detail masing-masing peristiwa pembantaian, namun, sampai sekarang saya masih ingat sebuah foto yang memperlihatkan anak-anak Armenia yang dibuang oleh pemerintah Turki Ottoman ke gurun di daerah Syria.
Mereka kurus kering sampai tulang-tulangnya terlihat dan dibiarkan meninggal kepanasan, kehausan, dan kelaparan di gurun.
Sebenarnya, apapun tragedi kemanusiaannya pastilah membuat orang yang mendengar atau melihat menjadi terhenyak. Merinding. Namun, bagi saya pribadi, pembunuhan masal ini membuat saya malu! Pasalnya, pembunuhan dilakukan oleh Kekaisaran Turki Ottoman yang biasanya saya kagumi kebesarannya.
Untuk pertama kalinya, saya merasa malu saat melihat sebuah pameran museum. Alasannya sangat personal: karena kekaisaran (dinasti) yang biasanya saya kagumi ternyata memiliki sisi gelap yang saya tidak ketahui sebelumnya. Kok bisa ya mereka melakukan kejahatan kemanusiaan seperti itu...
Saat itu saya juga baru menyadari bahwa jendela-jendela di ruang pamer museum didisain berbentuk Salib. Hal tersebut menyebabkan efek cahaya yang masuk ke ruang pamer berbentuk bayang-bayang Salib.
Menurut saya, desain jendela ini memvisualisasikan secara jelas politik identitas Armenia yang ingin ditampilkan di narasi museum.
Setelah selesai melihat pameran, energi positif saya tampaknya sudah terkuras. Memang mengunjungi memorial museum biasanya menguras emosi pengunjung.
Sepertinya teman saya juga merasakan hal yang sama. Kami tidak sanggup lagi apabila harus berjalan kaki menuruni bukit untuk bisa naik “angkot” untuk pulang.
Jadi, ketika kami keluar dari museum dan ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang, tanpa berfikir panjang kami langsung masuk ke dalam taksi dan kembali ke pusat kota ke tempat konferensi diselenggarakan. Untungnya kali itu kami dapat supir taksi yang baik dan tidak memutar-mutarkan kami!
Selain itu, berdasarkan informasi di website museum, tahun 2015 tata pamer museum diubah dalam rangka memperingati 100 tahun peristiwa genosida tersebut. Ruang pamer diperluas dan kontennya ditambah.
Banyak informasi sejarah baru dan dokumen-dokumen baru yang dipamerkan. Informasi di website tersebut membuat saya jadi penasaran, apakah ada yang pernah mengunjungi Armenian Genocide Museum diatas tahun 2015?
*Tulisan ini dipublikasikan di buku karya penulis berjudul #MuseumTravelogue Asia (2019) yang diterbitkan oleh Stiletto Indie Book (Yogyakarta). Tulisan ini juga dipublikasikan di blog pribadi penulis: www.museumtravelogue.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H