Sejalan dengan perkembangan dan meluasnya Islam di dunia, pasti tidak lepas dengan problematika yang timbul kala itu. Salah satu diantara problematika tersebut ialah timbulnya firqoh atau golongan yang benihnya mulai timbul selepas terjadinya Perang Shiffin. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat dikalangan masyarakat pada masanya. Salah satu dari golongan-golongan yang timbul saat itu ialah aliran Qadariyah atau yang dikenal dengan para pengingkar takdir.
Secara etimologi Qadariyah berasal dari bahasa Arab qadara, yang artinya kemampuan atau kekuasaan. Menurut Abdul Rozak dan Rosihon Anwar (2012:87) Qadariyah adalah suatu paham yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak ada campur tangan Tuhan. Dari pengertian diatas dapat dipetik bahwa Qadariyah digunakan untuk golongan yang menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya (free will).
Menurut Muhammad Hasbi, " Paham Qadariyah berasal dari orang Kristen Irak yang bernama Abu Yunus Sansawiah yang masuk Islam tapi kembali lagi menjadi Nasrani." (2015:87). Paham Qadariyah sendiri timbul sekitar tahun 70 H/689 M, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) yang dipimpin oleh seorang taba'i yang sangat dipercaya kala itu, yaitu Ma'bad Al-Jauhani Al-Bisri dan Ghailan Ad-Dimasyqy seorang orator berasal dari Damaskus.
Latar belakang timbulnya paham Qadariyah sendiri sebagai penentang dari kebijakan politik Bani Umayyah yang dinilainya kejam. Jika paham Jabariyah berpendapat bahwa Bani Umayyah membunuh merupakan perbuatan yang sudah ditakdirkan oleh Allah Swt., maka paham Qadariyah membatasi qadar tersebut dengan berpendapat bahwa Allah Swt. itu adil. Allah Swt. akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Maka dari itu, manusia harus khaliqul 'af'al yaitu merdeka dalam ikhtiar atau menentukan perbuatannya, mau ke arah baik atau ke arah buruk. Apabila ada yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib seseorang bergantung kepada qadar Allah Swt. saja, maka akan dicap sesat oleh paham Qadariyah. Karena bagi paham Qadariyah pendapat tersebut dinilai menentang keutamaan Allah Swt. dan diartikan bahwa Allah Swt. yang menjadi sebab terjadinya kejahatan.
Saat itu paham Qadariyah telah mendapatkan pengikut yang cukup, namun seiring jalannya waktu paham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam kala itu. Reaksi keras ini diakibatkan oleh dua hal. Pertama, pada saat itu masyarakat Arab sebelum dan sesudah beragama Islam telah dipengaruhi oleh paham fatalis. Sedangkan kehidupan mereka sederhana dan jauh dari ilmu pengetahuan. Mereka hanya mengalah pada keganasan alam yang panas serta tanah dan gunung yang gersang. Sehingga mereka merasa lemah dan susah menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alasan sekelilingnya. Maka dari itu, ketika paham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak menerimanya dan menganggap paham Qadariyah bertentangan dengan doktrin Islam. Kedua, tantangan dari pemerintah. Menurut Abdul Rozak dan Rosihon Anwar (2012:90) mengatakan tantangan ini dikarenakan saat itu para pejabat pemerintah menganut paham Jabariyah.
Selain itu, pemerintah menganggap bahwa paham Qadariyah berusaha menyebarkan paham dinamis dan daya kritis masyarakat yang bisa berdampak menggulingkan mereka dari tahta kerajaan. Sehingga  saat itu pemerintah langsung mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma'bad al-Juhni dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dia sendiri dihukum mati di Damaskus (80 H/690 M). Setelah peristiwa ini, paham Qadariyah semakin surut.
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, masalah pembahasan Qadariyah disatukan dengan pembahasan doktrin Mu'tazilah. Karena antara dua paham ini memiliki persamaan filsafat, yaitu sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan yang tidak diintervensi oleh Tuhan. Sehingga masyarakat sering menjuluki kaum Qadariyah Mu'tazilah.
Sebagian orang Qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang baik itu berasal dari Allah Swt., sedangkan perbuatan manusia yang buruk itu manusia sendiri yang menciptakan dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Allah Swt. Karena pendapat ini, paham Qadariyah dijuluki Majusi yang dirujuk pada salah satu hadis nabi, dimana julukan tersebut membuat negatif nama Qadariyah sendiri. Menurut Sahilun Nasir (2012:140) dikatakan Majusi karena mereka beranggapan adanya dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan keburukan dan hal ini persis dengan ajaran agama Majusi yang mengatakan adanya dewa terang/siang (kebaikan) dan dewa gelap/malam (keburukan).
Doktrin pokok dari paham Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat jahat atau baik. Jadi, apabila seseorang diberi ganjaran, baik balasan surga atau neraka kelak di akhirat berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh takdir Tuhan. Bagi mereka tidak ada alasan yang tepat dalam menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Doktrin ini mempunyai doktrin Islam sebagai pijakannya, seperti surat Al-Kahfi ayat 29 salah satunya.
Konsep takdir dalam perspektif paham Qadariyah bukan dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab kala itu, yakni paham yang menyatakan nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dimana dalam perbuatannya, manusia bertindak menurut nasib yang telah ia tentukan. Sedangkan dalam paham Qadariyah, takdir adalah ketentuan Allah yang berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak ajal, yakni sunatullah.
Selain doktrin mengenai perbuatan manusia, ada pula doktrin-doktrin lain yang dibawa oleh paham Qadariyah, seperti mereka mengatakan bahwa Allah itu Esa dalam arti Allah tidak memiliki sifat-sifat azali. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah fasik, bukan kafir dan bukan pula mukmin. Mereka akan kekal di neraka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H