Isu kekerasan seksual di lingkup pendidikan beberapa tahun kebelakang meramaikan beberapa platform media sosial seperti twitter, instagram, facebook, hingga tiktok. Tak terhalang oleh gender, baik perempuan ataupun laki-laki menjadi korban kekerasan seksual tersebut.Â
Menurut data yang didapat oleh komnas perempuan mengenai pengaduan kekerasan seksual pada lingkungan pendidikan, tercatat sebanyak 51 kasus dalam periode 2015-2020 dengan perguruan tinggi menempati urutan pertama yaitu 27 persen, disusul dengan 19 persen oleh pendidikan berbasis agama islam, dan 15 persen oleh ditingkat SMA sederajat. Bentuk kekerasan yang terjadipun beragam mulai dari pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, kekerasan psikis, hingga diskriminasi.
Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi para peserta didik dan keluarga peserta didik untuk melaksanakan proses pendidikan dengan aman dan merdeka. Karena realita yang terjadi dimasyarakat, para pelaku kekerasan seksual menggunakan kekuasaaannya (power abuse) untuk menaklukan kondisi ketidakberdayaan korban.Â
Berdasarkan survey yang dilakukan dirjen ristek pada 2020 dengan dosen sebagai respondennya, hasil yang didapat 77 persen dosen mengetahui adanya kekerasan seksual yang terjadi di kampus, namun mirisnya sebanyak 63 persen diantaranya tidak melaporkan kasus yang terjadi oleh pihak kampus.
Pelaku kekerasan seksual sangatlah dilindungi oleh pihak sekolah ataupun kampus dalam "menjaga nama baik sekolah/kampus", dan posisi korban sangat dirugikan karena harus menanggung beban psikis yang amat berat dan berjangka panjang sebagai korban. Komnas perempuan menjabarkan dampak kekerasan seksual yang dialami peserta didik, diantaranya trauma psikis, dikelurkan dari sekolah, tidak dapat mengikuti ujian, dan victim blaiming. Lalu bagaimana dengan hak yang tertulis dalam UUD RI 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa; " Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan."
Pada akhir agustus 2021 lalu, Nadiem Makarim selaku mentri pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi mengeluarkan peraturan mentri nomor 30 sebanyak 58 pasal untuk upaya pencegahan dan penaganan permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di lingkup sekolah sebagai salah satu program merdeka belajar.Â
Hal ini sejalan dengan upaya pemberdayaan pendidikan yang digunakan untuk memajukan pendidikan Indonesia dengan memerdekakan korban kekerasan seksual fisik, nonfisik, verbal atau secara daring di lingkup pendidikan.Â
Poin penting dalam peraturan tersebut ada pada pasal 53, dimana Korban kekerasan memiliki haknya untuk mendapatkan jaminan atas kerasiaan identitas diri, serta meminta baik perlindungan ataupun pemulihan. Diharapkan dengan hadirnya peraturan tersebut dapat menjadi angin segar bagi para korban ataupun pendidikan di Indonesia agar terhindar dari kasus kekerasan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H