Mohon tunggu...
Rohim Ghazali
Rohim Ghazali Mohon Tunggu... -

orang biasa yang mau berpikir, berucap, dan bertindak biasa-biasa saja..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Loyalitas, Syarat Utama Seorang Menteri

22 Oktober 2009   19:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya baru saja melihat liputan salah satu televisi swasta mengenai demonstrasi sekelompok mahasiswa yang bentrok dengan aparat kepolisian di sebuah pulau. Yang menarik, mahasiswa berdemo karena Kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang baru saja dilantik, dianggap tidak representatif karena tidak ada yang berasal dari pulau tempat mereka tinggal. Oleh karena itu mereka menuntut agar Presiden SBY mengangkat menteri dari pulau tempat mereka tinggal.

 

Kepada para mahasiswa itu saya mohon maaf. Menurut saya, dari mana pun asalnya daerah seorang menteri, dari Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, atau dari salah satu pulau terpencil dan terluar sekali pun, seperti pulau Miangas misalnya, tak ada masalah.

 

Dari mana asalnya organisasi seorang menteri, dari LSM, ormas, organisasi profesi, atau dari parpol, menurut saya tak ada masalah. Kecuali kalau ternyata ada menteri yang berasal dari organisasi pemuja setan, barangkali perlu kita masalahkan. Tapi yakinlah, para menteri KIB II tak ada yang berasal dari organisasi semacam itu.

 

Seorang menteri, dari mana pun asalnya, layak kita persoalkan, bila ternyata tak punya loyalitas pada negara. Atau loyalitas pada negara terkalahkan oleh loyalitasnya pada daerah atau pada kelompok kepentingan darimana ia berasal.

 

Oleh karena itu, menurut saya, tak perlulah kita terlalu mempersoalkan apakah menteri itu berasal dari parpol, dari birokrat (jabatan karir) atau dari kaum profesional. Dari mana pun asalnya, pasti punya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Karena mereka semua manusia biasa, bukan malaikat.

 

Memang, tak bisa dimungkiri, yang berasal dari parpol memiliki kecenderungan lebih besar untuk tetap loyal pada partainya, karena terikat dengan “penugasan” dari partai, ada faktor imbal/balas jasa. Politik balas jasa inilah yang harus dipotong. Caranya dengan perjanjian/kontrak politik. Sayangnya “kontrak kinerja” dan “fakta integritas” yang ditandatangani setiap calon menteri pada saat dipanggil di Cikeas tidak secara tegas mengatur soal ini. Padahal, loyalitas adalah syarat utama bagi seorang menteri, terutama menteri-menteri yang berasal dari parpol.

 

Bagaimana loyalitas aktivis parpol pada negara ada contoh yang layak dipedomani, yakni ungkapan yang sangat terkenal dari Manuel L. Quezon, presiden pertama Filipina persemakmuran (sebelum menjadi Republik Filipina), yakni, “my loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.” Mengingat pentingnya loyalitas ini, pada saat dilantik menjadi Presiden AS ke-35, 20 Januari 1961, John F. Kennedy juga menyampaikan hal yang serupa.

 

Artinya, pada saat diangkat menjadi menteri, kader parpol harus mengakhiri loyalitasnya pada partai. Salah satu cara untuk menumbuhkan loyalitas ini, SBY seyogianya mengajukan syarat kepada setiap kader partai agar melepas jabatan kepartaian pada saat dipilih menjadi menteri. Itu yang pertama.

 

Kedua, ketaatan pada konstitusi dilandasi oleh kepentingan bersama, kepentingan negara, bukan kepentingan pribadi atau golongan. Mengapa citra partai kurang manis di mata masyarakat? Antara lain karena elite partai dianggap paling rentan terhadap jebakan kepentingan pribadi dan golongan.

 

Ketiga, yang paling penting, kader partai yang menjadi menteri harus sadar bahwa dirinya berada dalam sistem presidensial, bukan parlementer. Artinya, apa pun yang ia lakukan dalam konteks menjalankan tugas-tugas sebagai menteri, harus menjadi bagian dari “orchestra” pemerintahan yang ada, bukan atas dasar kerpentingan partainya.

 

Terkait dengan system presidensial ini, konsekuensinya seorang menteri harus rela diganti jika presiden menganggapnya gagal menjalankan tugas. Sebaliknya presiden berhak mengklaim atas keberhasilan dari tugas-tugas yang diembannya.

 

Konsekuensi lain dari presidensialisme, setiap kader partai yang menjadi menteri seyogianya tidak mengincar kursi kepresidenan pada pemilu berikutnya. Ambisi menteri menjadi presiden akan merusak keharmonisan hubungan antara presiden dengan menterinya. Kalau berambisi menjadi presiden, saran saya, sebaiknya memimpin partai saja dulu, tebar pesonalah disitu, dan raih dukungan publik seluas-luasnya, sebanyak-banyaknya.

 

Kalau mau jadi presiden, beriklanlah dengan uang sendiri, jangan beriklan mengatasnamakan kementerian yang didudukinya dengan menghabiskan uang rakyat. Percaya sama saya, iklan semacam ini akan kontraproduktif. Yang akan didapatkan bukan rasa simpati apalagi pesona, tapi rasa benci dan cacimaki…

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun