Mohon tunggu...
Rohim Ghazali
Rohim Ghazali Mohon Tunggu... -

orang biasa yang mau berpikir, berucap, dan bertindak biasa-biasa saja..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Menteri Harus Diaudisi?

20 Oktober 2009   10:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bahasan tajuk Media Indonesia (14/10), “Audisi Calon Menteri” menarik untuk dibahas lebih lanjut.  Secara etimoligis, audisi berarti melakukan percobaan, terutama bagi penyanyi, pemain musik, dan calon pemain film atau sinetron. Jabatan menteri tentu tak bisa disamakan dengan profesi-profesi tersebut, tapi mengapa calon menteri harus diaudisi?

Ada empat hal yang paling pokok dalam audisi, pertama soal kecocokan peran (performance). Seperti calon penyanyi atau pemain film, seorang calon menteri harus bisa memerankan diri sesuai jabatan yang akan didudukinya. Untuk peran menteri agama misalnya, minimal ia harus fasih mengucapkan salam, tak hanya assalamu’alaikum, tapi juga salam dari semua agama yang ada di Indonesia. Jadi, selain perlunya keahlian sesuai bidang (tugas-tugas) yang akan diemban, juga perlu adanya kepantasan peran.

Kedua, soal pemahaman naskah skenario, atau partitur.  Dalam kabinet naskah skenario atau partiturnya adalah program-program pemerintahan SBY selama minimal lima tahun ke depan. Seorang menteri yang tidak mampu memahami program-program SBY sama seperti seorang permain film atau pesinetron yang tidak tahu sekenario yang harus dimainkan, atau seperti pemain musik yang tidak bisa membaca partitur, atau lebih parah lagi seperti penyanyi yang tidak hapal lagu yang akan dinyanyikan.

Ketiga, soal keserasian. Kementerian bukan tugas yang otonom, berdiri sendiri, melainkan berada dalam satu kesatuan (kabinet). Oleh karena itu, selain keahlian, yang juga penting adalah kemampuan menyelaraskan tugasnya dengan tugas-tugas kementerian yang lain. Ibarat penyanyi, kabinet adalah paduan suara, bukan penyanyi solo. Ibarat pemain musik, kabinet adalah orkestra, bukan pemain organ tunggal.

Keempat, yang tidak kalah penting adalah soal ketaatan pada konduktor, pada sutradara. Dalam kabinet presidensiil, yang menjadi konduktor atau sutradara adalah presiden. Di sinilah salah satu fungsi hak prerogatif presiden untuk mengangkat dan atau memberhentikan menteri-menteri.

Sadar Posisi

Selain untuk menekankan keempat hal di atas, proses audisi membuktikan bahwa presiden SBY kali ini jauh lebih percaya diri dibandingkan pada saat terpilih lima tahun yang lalu. Penyebabnya karena Partai Demokrat yang bertengger di urutan teratas dalam pemilu legislatif, kemenangan di atas 60% yang diraih SBY dalam pilpres, dan kemungkinan bergabungnya PDIP dan Partai Golkar dalam koalisi pemerintahan.

Dengan kekuatan legitimasi politik  yang sedemikian besar, siapa pun orangnya dan dari mana pun asalnya, anggota kabinet yang dipilih presiden harus benar-benarsadar posisi, sadar bahwa nasib dirinya tergantung sepenuhnya pada presiden.

Maka sungguh aneh jika ada partai politik yang mencoba mendesak-desak presiden agar kadernya masuk dalam jajaran kabinet, atau bahkan mempeta-kompli dengan menentukan jumlah dan tokoh-tokoh yang harus diterima presiden. Sebenarnya, tanpa didesak atau dipeta-kompli, presiden sudah pasti akan memperhatikan aspirasi partai politik karena bagaimana pun yang mencalonkan presiden adalah koalisi partai-partai,

Syarat Kader Partai

Pada dasarnya, anggota kabinet yang berasal dari kader partai bukan berarti tidak profesional karena ukuran profesesionalisme terkait dengan kompetensi dan kinerja. Yang disangsikan dari kader partai biasanya soal loyalitas. Oleh karena itu, selain kompetensi (profesional), bersih (tidak tercela), jujur (tidak mengkhianati amanat rakyat), dan penuh dedikasi (mau bekerja keras), syarat yang harus dipenuhi calon menteri dari kader partai adalah memiliki loyalitas penuh pada negara, bukan pada partainya. Itu yang pertama

Kedua, memiliki ketaatan pada konstitusi. Mengapa citra partai kurang manis di mata masyarakat? Antara lain karena elite partai dianggap paling lemah dalam hal menegakkan konstitusi. Ungkapan “kau yang memulai, kau yang mengakhiri” amat lekat dengan elite-elite partai karena mereka dianggap begitu mudah membuat undang-undang –melalui lembaga legislatif, tapi begitu mudah pula melanggarnya, atau menggantinya dengan ketentuan baru disesuaikan dengan keinginan mereka.

Sejauh mana kertaatan kader partai pada konstitusi bisa dilacak dari rekam jejaknya. Misalnya pada saat memimpin partai. Kader partai yang memiliki rekam jejak kurang taat pada aturan partainya, punya potensi besar untuk melanggar konstitusi. Rumusnya sederhana, ketaatan pada aturan main partai bagi kader partai adalah  modal utama bagi ketaatannya pada konstitusi negara.

Ketiga, yang paling penting, kader partai yang menjadi menteri harus sadar bahwa dirinya berada dalam sistem presidensial. Artinya, apa pun yang ia lakukan dalam konteks menjalankan tugas-tugas sebagai menteri, harus menjadi bagian dari sistem pemerintahan yang ada.

Sukses atau gagalnya seorang menteri akan mempengaruhi kinerja kepresidenan secara umum. Olehkarenanya seorang menteri harus rela diganti jika presiden menganggapnya gagal menjalankan tugas. Sebaliknya presiden berhak mengklaim atas keberhasilan dari tugas-tugas yang diembannya. Itulah konsekuensi dari presidensialisme.

Konsekuensi lain dari presidensialisme, setiap kader partai yang menjadi menteri seyogianya tidak mengincar kursi kepresidenan pada pemilu berikutnya. Ambisi menteri menjadi presiden akan merusak keharmonisan hubungan antara presiden dengan menterinya. Maka pilihan SBY terhadap Boediono sebagai wapres menjadi penting untuk mencegah kemungkinan ini.

Mengapa publik, misalnya, tidak begitu respek pada klaim-klaim keberhasilan Jusuf Kalla pada saat kampanye pilpres lalu?  Antara lain karena publik melihat keberhasilan itu --dalam kerangka presidensialisme—hanya presiden yang berhak mengklaimnya, meskipun mungkin pada dasarnya klaim Jusuf Kalla itu benar,

Dengan memenuhi syarat-syarat di atas, besar harapan kita, centang perenang kabinet yang kerap terjadi pada periode-perode sebelumnya tidak terulang lagi pada periode SBY-Boediono (Media Indonesia, 20/10/09)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun