Beberapa masyarakat juga menilai pembahasan Undang-Undang ini belum bersifat final karena beberapa pasal yang tidak disertakan pada RUU TPKS sampai disahkan kemarin pada tanggal 12 April 2022.
Seperti halnya tindak pemerkosaan dan aborsi yang tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Menjawab hal tersebut, alasan tidak dimasukkannya Pasal mengenai aborsi dan juga pemerkosaan karena agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan (overlapping) mengingat pada Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan juga KUHP sendiri telah mengatur hal tersebut.
Disahkan menjadi UU pada 12 April 2022. Terlepas dari segala penolakan dan pro-kontra terkait RUU TPKS ini, terdapat usaha dan tekad dari para masyarakat, aktivis, dan juga akademisi yang pantang menyerah memperjuangkan pengesahan RUU TPKS lewat berbagai upaya. Hal ini didasari pada kasus kekerasan seksual sudah sangat parah yang terjadi setiap tahunnya.
Komnas Perempuan mencatat ada sekitar 299.111 yang sejumlah 8.234 kasus ditangani oleh Komnas Perempuan. Dilansir dari news.detik.com Selasa (4/1/2022) Presiden Joko Widodo menyatakan “sehingga proses pembahasan bersama nanti lebih cepat, masuk ke pokok-pokok substansi untuk memberikan kepastian hukum serta menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual”. Harapan dari ini semua tidak lain adalah percepatan disahkannya RUU TPKS.
Satu dekade sudah UU TPKS ini dinanti-nantikan oleh para perempuan khususnya para korban kekerasan seksual yang terabaikan. Pada Tanggal 12 April 2022 menjadi momen bersejarah bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum perempuan.
Karena setelah mengalami perjuangan panjang oleh segenap lapisan masyarakat, aktivis perempuan, dan akademisi yang giat menyuarakan pengesahan RUU TPKS, akhirnya RUU TPKS disahkan juga menjadi UU TPKS. UU TPKS menjadi bentuk keberpihakan negara terhadap segala bentuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Sebagai instrumen hukum negara yang bersifat lex specialis tentunya UU TPKS ini secara khusus akan menangani, melindungi korban, menjadi payung hukum, sampai merehabilitasi korban agar nantinya, kasus kekerasan seksual tidak terjadi lagi.
Fokus utama UU TPKS adalah keberpihakan pada korban, sebagaimana telah tertulis dalam pasal-pasalnya, poin-poin yang perlu disorot dalam UU ini adalah:
● Setidaknya ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual, antara lain: Pelecehan seksual non fisik, Pelecehan seksual fisik (termasuk pemaksaan hubungan seksual baik di dalam maupun luar pernikahan), Pemaksaan kontrasepsi, Pemaksaan sterilisasi, Pemaksaan perkawinan (antara korban dan pelaku TPKS), Penyiksaan seksual, Eksploitasi seksual, Perbudakan seksual, dan Kekerasan seksual berbasis elektronik atau KBGO, termasuk korban revenge porn.
● Korporasi yang melakukan TPKS dikenakan denda sekitar Rp200 juta hingga Rp2 miliar dan terancam dijatuhi pidana tambahan berupa Pembayaran restitusi, Pembiayaan pelatihan kerja, Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak kekerasan seksual, Pencabutan izin tertentu, Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha atau kegiatan korporasi dan Pembubaran korporasi.
● Terdapat pidana lain (selain hukuman penjara dan denda) untuk pelaku kekerasan seksual, yaitu Pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, Pengumuman identitas pelaku, Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, Pembayaran restitusi.
● Adanya pengakuan atas relasi kuasa yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Relasi kuasa diatur tersendiri sebagai pemberatan tindak pidana.
● Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani perkara TPKS harus mengikuti pelatihan penanganan perkara TPKS sehingga integritas dan kompetensi penegak hukum lebih terjamin.
● Keterangan saksi dan/atau korban dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan satu alat bukti sah lainnya, termasuk alat bukti surat dari psikolog klinis atau psikiater.
● Korban dapat didampingi oleh pendamping di seluruh tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Pendamping berhak mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi dan tidak dapat dituntut secara hukum atas pendampingan dan pelayanannya.
● Berlakunya perlindungan sementara bagi korban. 1x24 jam setelah polisi menerima laporan maka polisi dapat memberikan perlindungan sementara selama maksimal 14 hari di mana polisi bisa menjauhkan pelaku dari korban dan membatasi gerak pelaku.
● Perlindungan dan kompensasi kepada korban TPKS meliputi keluarga korban agar tidak ragu untuk memproses secara hukum dan tidak takut untuk diputus finansialnya apabila pelaku berkuasa secara ekonomi.
● UU TPKS menjangkau penanganan kekerasan seksual dalam UU lain seperti UHP, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO) dan UU Pornografi.
● Korban kekerasan seksual memiliki tiga hak, yaitu hak atas penanganan; hak atas perlindungan; dan hak atas pemulihan. Hak atas penanganan meliputi dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, perawatan medis, hingga hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang menyangkut korban. Hak perlindungan meliputi kerahasiaan identitas, tindakan merendahkan oleh aparat yang menangani kasus, hingga perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik. Dan hak pemulihan meliputi rehabilitasi medis dan mental, restitusi dari pelaku atau kompensasi dari negara, hingga reintegrasi sosial. Pemulihan itu didapat korban mulai proses hingga setelah proses peradilan.
● Tidak berlakunya restorative justice. Penyelesaian perkara hukum di luar pengadilan hanya boleh dipakai untuk kasus kekerasan seksual yang pelakunya masih anak-anak.
Catatan Mengenai Nyawa-Nyawa yang Diabaikan dalam UU TPKS
● UU TPKS gagal mengatur perluasan unsur tindakan dalam Pasal 285 KUHP yang mendefinisikan “persetubuhan” sebatas “masuknya penis ke dalam vagina”.
● UU TPKS gagal memberikan jaminan perlindungan korban pemaksaan aborsi agar tidak dipidana dengan mengatur tindak pidana pemaksaan aborsi.
● UU TPKS tidak mengatur definisi beberapa tindak pidana seperti perkosaan, perkosaan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan pemaksaan pelacuran. Hal tersebut berpotensi menimbulkan disparitas pemahaman atau multitafsir dalam implementasinya.
● UU TPKS belum mengatur larangan bagi aparat penegak hukum agar tidak menggunakan pertimbangan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya yang mengandung muatan diskriminasi terhadap korban. Serta, tidak menggunakan penafsiran ahli yang bias gender, termasuk tidak mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.
● UU TPKS tidak mengatur perlindungan korban oleh pers, seperti jaminan untuk merahasiakan identitas korban dan saksi lainnya.
Dengan hadirnya UU TPKS diharapkan nantinya bisa menjadi pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia. perjuangan Mahasiswa dan juga seluruh masyarakat tidak boleh berhenti sampai disahkannya UU TPKS saja, lebih dari itu mahasiswa dan seluruh masyarakat juga harus mengawal pelaksanaan (penegakan hukum) dari UU TPKS ini.
Selain itu, perlunya membentuk lembaga khusus yang menangani kekerasan seksual ini dan juga mendesak kepada pembuat peraturan untuk segera membuat peraturan pelaksana dari UU TPKS ini agar bisa mengakomodir hal-hal yang bersifat teknis dan lebih khusus untuk menangani masalah kekerasan seksual.