Perjalanan disahkannya UU TPKS-Dari RUU PKS menjadi UU TPKS
UU TPKS ini memiliki perjalanan yang cukup panjang. Perjalanan pengesahan RUU TPKS menjadi UU TPKS kerap mengalami lika-liku. Pada awalnya UU TPKS lahir dari rumusan yang diusulkan pertama kali oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2012 silam dengan nama RUU PKS.
Draf RUU ini baru dapat terlaksana secara matang pada tahun 2014. Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah dilakukan sejak tahun 2014 tersebut disusun melalui rangkaian diskusi, dialog, dan juga penyelarasan fakta dan teori oleh Komnas Perempuan.
Akhirnya pada tahun 2016 draf RUU itu diusulkan kepada ketua DPR untuk masuk pada pembahasan Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS).
Selanjutnya sebagai realisasi dari diskusi kajian yang cukup panjang terkait rumusan RUU termasuk diskusi penentuan judul dari RUU PKS sampai akhirnya disepakati menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), alasan mengapa dilakukan perubahan nama dan diksi hukum pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) adalah agar peraturan ini bersifat pidana administratif dan tidak bertentangan dengan hukum pemidanaan yang berlaku di Indonesia yakni KUHP.
Sehingga, nantinya diharapkan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual lebih mudah dilakukan.
Tarik-Ulur UU TPKS
RUU TPKS berulang kali mengalami penolakan tepatnya pada tahun 2020, RUU tersebut sempat keluar masuk Prolegnas. Bahkan DPR sampai menarik RUU PKS (yang akhirnya disahkan dengan nomenklatur UU TPKS) dari Prolegnas Prioritas. Polemik ini muncul karena di parlemen sendiri ada pihak yang sepakat dan tidak sepakat.
Dalam pembahasan RUU TPKS selalu berjalan alot karena tidak ada kesamaan pemahaman pada diri DPR. Marwan Dasopang Wakil Ketua Komisi VIII DPR mengatakan bahwa “Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit”.
Selanjutnya Fraksi Golkar mengusulkan penundaan terhadap RUU ini, sedangkan Fraksi PKS menolak sama sekali perihal RUU TPKS. Beberapa fraksi partai di DPR yang tidak menyetujui RUU ini dan menyebut bahwa RUU TPKS merupakan produk kepentingan politik instan untuk menarik simpati masyarakat sampai RUU ini dianggap tidak sesuai dengan norma ketimuran dan mengesampingkan kaidah agama.
Namun, Komnas Perempuan menangkis tanggapan tersebut karena RUU ini merupakan lex specialis yang memuat perlindungan korban, artinya sudah mengatur tentang kaidah kesusilaan dan tentunya sudah sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.