Partai politik (parpol) memiliki peran strategis dalam sistem demokrasi, terutama dalam melahirkan calon pemimpin yang berkualitas. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dihadapkan pada fenomena politik kartel dan kegagalan parpol melahirkan kader terbaik untuk ikut maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Fenomena ini menjadi sorotan serius karena berimplikasi langsung pada kualitas pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, tidak jarang kita melihat calon tunggal dalam pilkada yang memiliki track record kurang memuaskan di periode sebelumnya, namun tetap diusung oleh parpol tanpa evaluasi yang memadai.
Artikel ini akan membahas secara mendalam fenomena politik kartel, dampaknya terhadap demokrasi, kegagalan parpol dalam melahirkan kader yang kompeten, serta solusi yang dapat diambil oleh masyarakat untuk mengoreksi jalannya pemerintahan. Selain itu, artikel ini juga akan mengaitkan fenomena ini dengan pemerintahan daerah yang kerap kali berjalan secara autopilot, di mana struktur pemerintahan dan masyarakat sudah terjebak dalam pola yang stagnan dan tanpa inovasi.
Politik Kartel dalam Pilkada
Politik kartel merujuk pada praktik di mana parpol berkolusi untuk mempertahankan status quo dan mengurangi persaingan dalam proses politik. Dalam konteks pilkada, politik kartel seringkali tampak melalui fenomena calon tunggal, di mana parpol-parpol yang seharusnya bersaing justru bersatu mengusung satu kandidat, sehingga mengeliminasi pilihan bagi masyarakat.
Kondisi ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi yang mengedepankan kompetisi sehat dan pilihan yang luas bagi rakyat. Politik kartel tidak hanya merugikan masyarakat karena terbatasnya pilihan calon, tetapi juga berpotensi menciptakan sistem politik yang tidak akuntabel. Calon tunggal yang didukung oleh banyak parpol seringkali merasa aman dari evaluasi kritis masyarakat karena tidak ada pesaing yang bisa menjadi alternatif.
Selain itu, politik kartel juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsinya sebagai wadah kaderisasi. Seharusnya, parpol memiliki tanggung jawab untuk melahirkan kader-kader terbaik yang siap memimpin dan membawa perubahan bagi daerah. Namun, kenyataannya, banyak parpol yang justru memilih jalan pintas dengan mengusung calon yang sudah memiliki kekuasaan meskipun rekam jejaknya kurang memuaskan.
Gagalnya Partai Politik Melahirkan Kader Terbaik
Salah satu indikator dari kegagalan parpol dalam melahirkan kader terbaik dapat dilihat dari munculnya calon tunggal dalam pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa parpol tidak mampu atau tidak mau mencari alternatif pemimpin yang lebih kompeten untuk bersaing dalam kontestasi politik. Padahal, idealnya, parpol harus melakukan proses kaderisasi yang matang dan selektif, sehingga dapat menghasilkan calon pemimpin yang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas.
Fenomena ini menjadi lebih serius ketika calon tunggal yang diusung memiliki track record kurang memuaskan di periode sebelumnya. Misalnya, terdapat daerah yang tingkat stunting-nya jauh melebihi rata-rata provinsi, angka kemiskinan dan penganggurannya tetap tinggi, serta infrastruktur jalan dan angkutan yang tidak memadai. Selain itu, isu-isu sosial seperti intensif untuk guru mengaji yang terlupakan juga menjadi masalah yang tidak terselesaikan.
Ketidakmampuan parpol untuk menghadirkan kader baru yang kompeten tidak hanya mencerminkan masalah internal di tubuh parpol itu sendiri, tetapi juga menjadi ancaman bagi demokrasi lokal. Masyarakat tidak diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin yang lebih baik, sehingga kualitas pemerintahan cenderung stagnan dan tidak ada inovasi baru yang dihasilkan.
Kontrak Politik atau Kotak Kosong Satu Solusi