Menghubungkan ini dengan drama yang terjadi di Indonesia saat ini, kita dapat melihat bagaimana fenomena ini mencerminkan dinamika cinta buta versus cinta yang kritis. Mereka yang memborong majalah Tempo mungkin merasa mereka melindungi Jokowi dari kritik yang dianggap tidak adil, tetapi di sisi lain, tindakan ini justru dapat dilihat sebagai upaya untuk membungkam suara-suara yang berbeda.Â
Sementara itu, Tempo yang kemudian membuka akses gratis bagi edisi ini mungkin berusaha untuk menekankan pentingnya transparansi dan akses informasi bagi semua, sebagai bagian dari upaya untuk mencintai negara dengan cara yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Pada akhirnya, kita semua harus merenungkan di mana posisi kita dalam dinamika ini. Apakah kita mencintai negara ini dan pemimpinnya dengan cinta yang buta, ataukah kita mencintai dengan cara yang lebih matang dan bertanggung jawab? Seperti yang disampaikan dalam pernyataan awal, cinta yang sejati adalah cinta yang selalu berusaha untuk mengembalikan kita ke ruang awal---di mana kebenaran, keadilan, dan harapan kita semua untuk masa depan yang lebih baik berada.Â
Semoga dengan cinta yang seperti inilah, kita bisa membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang telah membuat kita jatuh cinta pada negara ini sejak awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H