Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan momen krusial bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pilkada Serantak 2024, yang akan melibatkan pemilihan secara bersama di berbagai daerah di Indonesia, menjadi ajang bagi para calon kepala daerah untuk mempresentasikan visi dan misinya.Â
Namun, terdapat fenomena yang memprihatinkan di mana para calon lebih fokus pada popularitas dengan visi dan misi setinggi langit, namun kurang membumi dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal.Â
Kondisi ini sering kali diperparah oleh dominasi elit partai dalam penentuan nominasi calon, yang lebih mengandalkan hasil survei dari lembaga tertentu dengan metode tertentu, tanpa mempertimbangkan pengetahuan dan pemahaman calon terhadap kondisi daerahnya.Â
Fenomena ini memicu kekhawatiran akan munculnya model pemerintahan autopilot, di mana pemerintah hanya sekadar menjalankan program tanpa memperhatikan kebutuhan nyata masyarakat.
Para calon kepala daerah sering kali berlomba-lomba menonjolkan visi dan misi yang ambisius, dengan harapan dapat menarik simpati dan dukungan dari masyarakat. Visi dan misi ini biasanya disusun untuk memberikan kesan bahwa calon memiliki rencana besar dan ambisius untuk memajukan daerahnya.Â
Namun, tidak jarang visi dan misi tersebut kurang membumi dan tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Misalnya, janji untuk membangun infrastruktur modern atau menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar sering kali terdengar menarik, tetapi tidak disertai dengan rencana konkret atau pemahaman mendalam tentang potensi dan tantangan yang dihadapi daerah.
Visi dan misi yang setinggi langit ini cenderung diwarnai dengan retorika yang kosong, tanpa perencanaan matang dan analisis yang mendalam. Akibatnya, ketika calon terpilih, mereka sering kali kesulitan untuk merealisasikan janji-janji kampanye mereka. Hal ini dapat menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang merasa tertipu oleh janji-janji kosong tersebut.
Penentuan nominasi calon kepala daerah sering kali didominasi oleh elit partai yang lebih mengutamakan hasil survei popularitas daripada kemampuan dan kompetensi calon. Survei-survei ini sering kali dilakukan oleh lembaga tertentu dengan metode tertentu, yang tidak jarang memiliki bias atau tidak sepenuhnya menggambarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Calon yang dipilih berdasarkan popularitas dalam survei ini belum tentu memiliki pemahaman yang mendalam tentang kondisi daerah yang akan dipimpinnya.
Dominasi elit partai ini mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pemilihan calon pemimpin. Masyarakat menjadi pasif dan hanya dapat menerima calon yang telah ditentukan oleh partai, tanpa adanya kesempatan untuk menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka.Â
Selain itu, calon yang terpilih dengan cara ini cenderung lebih loyal kepada partai daripada kepada masyarakat yang dipimpinnya, karena merasa bahwa keberhasilan mereka lebih ditentukan oleh dukungan partai daripada dukungan masyarakat.
Kekhawatiran akan munculnya pemerintahan dengan gaya manajemen autopilot menjadi semakin relevan. Manajemen autopilot dalam konteks pemerintahan dapat diartikan sebagai pendekatan di mana pemerintah hanya menjalankan program-program yang telah direncanakan tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan perubahan situasi yang terjadi di lapangan. Pemerintah hanya fokus pada pelaporan kegiatan (SPJ) yang terlihat lancar di atas kertas dan pencitraan di media sosial, tanpa benar-benar memahami dan mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Dalam model manajemen seperti ini, pengabaian terhadap kepentingan masyarakat umum menjadi hal yang biasa. Pemerintah hanya memperhatikan kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan atau yang memiliki keterkaitan pribadi dengan pemimpin. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan layanan publik, serta menurunkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Untuk mencegah terjadinya pemerintahan dengan manajemen autopilot, peran berbagai pihak sangat diperlukan. Akademisi dari perguruan tinggi dapat berkontribusi dengan memberikan masukan dan analisis kritis terhadap kebijakan dan program yang diusulkan oleh pemerintah daerah. Mereka dapat membantu mengidentifikasi potensi dan tantangan yang ada, serta merumuskan strategi yang lebih realistis dan berbasis data.
Selain itu, alumni perguruan tinggi yang memiliki inovasi dan kreativitas juga dapat berperan dalam menciptakan solusi yang tepat guna bagi daerah. Pengalaman dan pengetahuan mereka, baik dari dalam maupun luar negeri, dapat menjadi aset berharga dalam merancang program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Komunitas yang sadar akan lingkungan dan haknya juga memiliki peran penting. Masyarakat yang madani, yang memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap keadaan sekelilingnya, dapat menjadi "penunjuk arah" seperti lampu di landasan pacu bandara. Mereka dapat memberikan panduan dan arahan kepada pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada kepentingan umum.
Pilkada Bersama 2024 merupakan momentum penting untuk memilih pemimpin yang benar-benar memahami dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, fenomena visi dan misi yang kurang membumi, dominasi elit partai, dan ancaman manajemen autopilot adalah tantangan yang harus dihadapi.Â
Peran aktif akademisi, alumni perguruan tinggi, dan komunitas sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya pemerintahan yang hanya berfokus pada pencitraan dan pelaporan tanpa memperhatikan kebutuhan nyata masyarakat. Dengan partisipasi yang lebih luas dari berbagai pihak, diharapkan Pilkada Bersama 2024 dapat menghasilkan pemimpin yang kompeten, adil, dan mampu membawa daerah menuju kemajuan yang nyata dan berkelanjutan. Jangan sampai pilkada serentak menawarkan kucing dalam karung untuk dipilih oleh masyarakat agar menjadi pemimpin mereka.