Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akreditasi dan Jebakan "Batman" itu

12 Juli 2024   13:22 Diperbarui: 12 Juli 2024   14:14 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akreditasi program studi dan perguruan tinggi adalah salah satu pilar penting dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Melalui akreditasi, kualitas dan standar pendidikan diukur dan diawasi untuk memastikan institusi pendidikan menghasilkan lulusan yang kompeten dan berdaya saing. 

Namun, seiring berjalannya waktu, muncul kekhawatiran dan kritik dari para dosen dan staf akademik yang merasa bahwa proses ini bisa menjadi jebakan yang menghambat mereka dalam menjalankan fungsi inti sebagai pendidik dan peneliti. 

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis kebijakan akreditasi di perguruan tinggi, khususnya terkait dengan program studi, dan mengapa banyak yang menyebutnya sebagai jebakan "Batman".

Proses akreditasi memerlukan alokasi waktu dan energi yang besar dari dosen dan staf akademik. Mereka dituntut untuk mengumpulkan data, menyusun laporan, dan mempersiapkan berbagai dokumen yang diperlukan. 

Tugas-tugas administratif ini sering kali memakan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan yang lebih substansial seperti mengajar, penelitian, dan pengembangan kurikulum. 

Di banyak perguruan tinggi, dosen merasa terbebani dengan pekerjaan administratif yang berat sehingga mengurangi waktu mereka untuk fokus pada inovasi pendidikan dan penelitian. 

Kondisi ini menciptakan paradoks di mana tujuan akreditasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan justru menghambat proses pengajaran dan penelitian yang merupakan inti dari tugas seorang akademisi.

Selain waktu dan energi, proses akreditasi juga sering memerlukan biaya tambahan yang tidak sedikit. Institusi pendidikan harus memenuhi berbagai persyaratan dan standar yang ditetapkan oleh badan akreditasi, yang sering kali membutuhkan investasi dalam infrastruktur dan sumber daya tambahan. 

Misalnya, untuk memenuhi standar fasilitas, perguruan tinggi mungkin perlu membangun atau merenovasi gedung, membeli peralatan laboratorium baru, atau meningkatkan teknologi informasi. 

Biaya-biaya ini bisa sangat membebani, terutama bagi perguruan tinggi swasta yang tidak mendapatkan dana dari pemerintah. Akibatnya, alokasi dana untuk kegiatan akademik, seperti penelitian dan pengembangan kurikulum, menjadi berkurang.

Untuk memenuhi standar akreditasi, perguruan tinggi sering kali melakukan perubahan signifikan dalam kurikulum dan sistem pendidikan mereka. Perubahan-perubahan ini bisa melibatkan revisi kurikulum, penyesuaian metode pengajaran, dan pembaruan bahan ajar. 

Meskipun perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sering kali terjadi secara berlebihan dan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan lokal atau kebijakan pendidikan yang sudah mapan.

 Dosen merasa terdorong untuk mengikuti perubahan ini, meskipun mereka merasa perubahan tersebut tidak selalu relevan atau bermanfaat bagi mahasiswa. Ketidakstabilan ini dapat mengganggu keseimbangan antara tradisi akademik dan inovasi, yang pada akhirnya dapat merusak integritas akademik.

Fokus pada Administrasi daripada Pengajaran dan Penelitian

Salah satu kritik utama terhadap proses akreditasi adalah bahwa ia memaksa dosen untuk lebih banyak fokus pada pekerjaan administratif daripada pada pengajaran dan penelitian. 

Dalam upaya memenuhi persyaratan akreditasi, dosen harus mengurus tumpukan dokumen, menghadiri berbagai pertemuan, dan mengikuti proses evaluasi yang ketat. 

Semua ini memakan waktu berharga yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan akademik yang lebih produktif. Akibatnya, kualitas pengajaran dan penelitian dapat menurun, karena dosen tidak memiliki cukup waktu untuk mengembangkan bahan ajar yang inovatif atau melakukan penelitian yang mendalam. 

Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan utama pendidikan tinggi, yaitu menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Proses akreditasi sering kali memicu stres dan tekanan yang tinggi bagi dosen dan staf akademik. Mereka merasa tertekan untuk mencapai target dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh badan akreditasi. 

Tekanan ini bisa berdampak negatif pada kesejahteraan mental dan fisik dosen. Stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan kelelahan, penurunan motivasi, dan bahkan burnout. 

Kondisi ini tidak hanya merugikan dosen secara individu, tetapi juga berdampak pada kualitas pendidikan yang mereka berikan kepada mahasiswa. 

Dalam jangka panjang, tekanan berlebihan ini dapat menyebabkan turnover yang tinggi di kalangan dosen, yang pada gilirannya bisa merugikan institusi pendidikan secara keseluruhan.

Kritik Terhadap Pendekatan "One Size Fits All"

Salah satu kritik utama terhadap kebijakan akreditasi adalah pendekatan "one size fits all" yang diterapkan. Badan akreditasi sering kali menetapkan standar yang seragam untuk semua institusi pendidikan, tanpa memperhatikan perbedaan konteks dan kebutuhan lokal. 

Misalnya, perguruan tinggi di daerah terpencil mungkin menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan dengan perguruan tinggi di kota besar. Namun, standar akreditasi yang sama diterapkan kepada keduanya. Pendekatan ini tidak adil dan bisa merugikan institusi yang berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan. 

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan akreditasi yang lebih fleksibel dan kontekstual, yang mempertimbangkan perbedaan dan kebutuhan spesifik setiap institusi pendidikan.

UINSA, 2024
UINSA, 2024
Meskipun akreditasi memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk memastikan kualitas pendidikan tinggi, penting untuk mencari keseimbangan yang tepat antara pemenuhan persyaratan akreditasi dan menjalankan fungsi inti pendidikan tinggi.

Institusi pendidikan dan badan akreditasi perlu bekerja sama untuk mengurangi beban administratif yang tidak perlu dan memastikan bahwa proses akreditasi lebih mendukung perkembangan akademik yang berkelanjutan. 

Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan menerapkan pendekatan yang lebih berbasis hasil daripada berbasis prosedur. Alih-alih menilai institusi berdasarkan kepatuhan terhadap prosedur administratif, badan akreditasi bisa lebih fokus pada hasil belajar mahasiswa dan dampak penelitian yang dilakukan.

Untuk mengatasi berbagai masalah yang telah diuraikan, berikut beberapa rekomendasi untuk kebijakan akreditasi yang lebih baik:

Mengurangi Beban Administratif: Badan akreditasi perlu merancang proses akreditasi yang lebih sederhana dan efisien, sehingga tidak membebani dosen dengan tugas administratif yang berlebihan. Penggunaan teknologi informasi bisa membantu dalam mengotomatisasi beberapa tugas administratif.

Meningkatkan Fleksibilitas: Standar akreditasi harus lebih fleksibel dan kontekstual, mempertimbangkan perbedaan kondisi dan kebutuhan lokal setiap institusi pendidikan. Hal ini akan memastikan bahwa kebijakan akreditasi lebih adil dan relevan.

Fokus pada Hasil Belajar: Alih-alih fokus pada prosedur administratif, badan akreditasi sebaiknya lebih menekankan pada hasil belajar mahasiswa dan dampak penelitian. Penilaian berbasis hasil akan lebih mencerminkan kualitas pendidikan yang sebenarnya.

Dukungan untuk Pengembangan Akademik: Pemerintah dan badan akreditasi perlu memberikan dukungan yang lebih besar untuk pengembangan akademik, termasuk penyediaan dana untuk penelitian dan pengembangan kurikulum. Hal ini akan membantu dosen dalam meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian.

Penekanan pada Kesejahteraan Dosen: Kebijakan akreditasi harus memperhatikan kesejahteraan dosen. Ini termasuk memberikan waktu dan ruang yang cukup bagi dosen untuk melakukan kegiatan akademik tanpa tekanan yang berlebihan.

Proses akreditasi program studi dan perguruan tinggi adalah instrumen penting untuk memastikan kualitas pendidikan tinggi. Namun, kebijakan akreditasi yang ada saat ini sering kali dianggap sebagai jebakan "Batman" oleh banyak dosen dan staf akademik. 

Proses yang rumit, beban administratif yang berat, dan tekanan untuk memenuhi standar yang terkadang tidak relevan, semuanya bisa menghambat dosen dalam menjalankan fungsi inti mereka sebagai pendidik dan peneliti. 

Oleh karena itu, diperlukan reformasi dalam kebijakan akreditasi untuk menciptakan sistem yang lebih fleksibel, efisien, dan berfokus pada hasil. 

Dengan demikian, proses akreditasi dapat benar-benar mendukung peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia tanpa mengorbankan kesejahteraan dan produktivitas dosen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun