Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tapera: Menghitung Realita di Balik Janji manisnya

25 Juni 2024   09:07 Diperbarui: 25 Juni 2024   09:17 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Beberapa waktu lalu, pemerintah meluncurkan program Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Program ini bertujuan untuk menyediakan fasilitas kepemilikan rumah murah bagi masyarakat. Namun, jika dilihat dari perspektif matematika dasar dan logika, program ini tampaknya sulit untuk diterapkan dan berpotensi menyesatkan publik.

Ada beberapa prinsip dasar dalam pembiayaan rumah yang harus dipahami oleh masyarakat dan pemerintah:

Biaya Tempat Tinggal: Umumnya, biaya tempat tinggal yang layak adalah sekitar sepertiga dari penghasilan bulanan. Baik itu untuk menyewa atau mencicil rumah melalui KPR, minimal 30% dari gaji harus disisihkan untuk tempat tinggal.
Pembayaran Rumah: Idealnya, rumah didapatkan di awal dan dibayar secara mencicil kemudian. Konsep menabung di awal dan baru mendapatkan rumah setelah pensiun tidak masuk akal dan dapat dianggap sebagai bentuk penipuan.

Program BP Tapera mengutip 3% dari gaji pekerja dengan janji dapat memiliki rumah di masa depan. Namun, dengan menggunakan matematika sederhana, konsep ini tidak realistis. Mari kita lihat skenario berikut:

Gaji 8 Juta per Bulan: Dengan gaji sebesar ini, idealnya Anda harus menyisihkan 30% untuk biaya tempat tinggal, yaitu sekitar 2,4 juta per bulan. Jika Anda menginginkan rumah seharga 282 juta dengan bunga KPR 7,75% per tahun, Anda harus mencicil selama 20 tahun.

Realita 3% Gaji: Jika Anda hanya menyisihkan 3% dari gaji (240 ribu per bulan), Anda tidak akan pernah bisa membeli rumah. Bahkan jika BP Tapera menawarkan bunga flat 5% atau DP 0%, jumlah yang disisihkan tidak cukup untuk membayar cicilan rumah layak.

DP 0% dan Bunga Flat 5%: Anggapan bahwa DP 0% dan bunga flat 5% akan membuat rumah terjangkau juga tidak realistis. Cicilan tetap akan tinggi dan mungkin menghabiskan setengah dari gaji, atau tenor cicilan harus diperpanjang hingga 30 tahun atau lebih, yang tidak praktis.

Program BP Tapera seolah-olah menawarkan solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), namun kenyataannya program ini tidak praktis:

Rakyat Berpenghasilan <8 Juta: Mereka dijanjikan bisa membeli rumah dengan hanya 3% dari gaji, namun realitanya mereka tetap harus menyewa rumah sampai usia lanjut. BP Tapera tidak mungkin membeli rumah untuk mereka dengan kontribusi hanya 3% dari gaji.

Program Rumah Murah: Program rumah murah bersubsidi sering kali berlokasi di daerah yang sangat jauh dari pusat-pusat perekonomian. Ongkos transportasi yang tinggi membuat rumah tersebut tidak layak huni bagi pekerja yang harus berkomuter.

Harga Rumah Murah: Meski bersubsidi, harga rumah masih terlalu tinggi bagi MBR. Program ini menjadi tidak efektif karena tidak ada pasar yang sesuai: lokasi terlalu jauh untuk kelas menengah dan harga terlalu mahal untuk kelas bawah.

Program BP Tapera dapat dianggap memiliki potensi kegagaln karena beberapa alasan:

Lokasi Rumah Murah: Rumah murah bersubsidi biasanya berlokasi di tempat yang sangat jauh dari pusat ekonomi, sehingga biaya transportasi menjadi sangat mahal. Ini tidak sejalan dengan penghasilan MBR, sehingga banyak rumah yang akhirnya ditinggalkan dan menjadi kredit macet.

Harga Rumah yang Tidak Terjangkau: Meskipun bersubsidi, harga rumah tetap tidak terjangkau oleh MBR. Ini menunjukkan kurangnya pertimbangan dalam perencanaan dan analisis pasar yang realistis.

Konsep Nabung Rumah: Menurut Jehansyah Siregar, seorang akademisi dan pengamat masalah perumahan dari ITB, konsep "Nabung Rumah" dengan menyisihkan 3% dari gaji adalah penipuan. Kontribusi sekecil ini tidak akan pernah cukup untuk membeli atau merenovasi rumah.

Alternatif Solusi
Untuk mengatasi masalah perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, perlu ada pendekatan yang lebih realistis dan berkelanjutan:

Peningkatan Subsidi dan Insentif: Pemerintah perlu meningkatkan subsidi dan insentif untuk perumahan yang lebih dekat dengan pusat ekonomi. Ini termasuk memberikan subsidi transportasi atau membangun infrastruktur transportasi yang lebih baik.

Model Pembiayaan yang Fleksibel: Pembiayaan perumahan harus lebih fleksibel, misalnya dengan memperkenalkan skema rent-to-own atau shared equity, di mana MBR dapat memiliki sebagian rumah dan meningkatkannya secara bertahap.

Pengembangan Kawasan Terintegrasi: Pemerintah harus fokus pada pengembangan kawasan yang terintegrasi dengan pusat ekonomi, sehingga pekerja tidak perlu mengeluarkan biaya tinggi untuk transportasi.

Edukasi dan Pelatihan: Masyarakat harus diberi edukasi dan pelatihan tentang manajemen keuangan dan perencanaan kepemilikan rumah. Ini akan membantu mereka memahami cara yang lebih efektif untuk mencapai kepemilikan rumah.

Program BP Tapera dengan janji "Nabung Rumah" 3% dari gaji tidak realistis dan berpotensi menyesatkan masyarakat. Dengan menggunakan matematika sederhana dan logika, kita dapat melihat bahwa program ini tidak akan berhasil memberikan solusi perumahan bagi MBR. 

Untuk mencapai solusi yang efektif, pemerintah perlu mengembangkan pendekatan yang lebih komprehensif dan realistis, dengan mempertimbangkan aspek subsidi, lokasi, dan model pembiayaan yang fleksibel. Hanya dengan demikian, visi memberikan perumahan yang layak dan terjangkau bagi seluruh rakyat dapat terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun