Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Idul Adha: Simbol Pengendalian Watak Hewani Manusia untuk Lebih Humanis

17 Juni 2024   06:23 Diperbarui: 17 Juni 2024   08:57 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS adalah salah satu cerita paling mendalam dalam sejarah agama Abrahamik. Dalam Al-Quran, Tuhan memerintahkan Ibrahim untuk mengorbankan anaknya, Ismail. Perintah ini adalah ujian ketaatan yang luar biasa berat. Namun, kisah ini juga menyiratkan makna simbolis yang dalam tentang pengendalian watak hewani dalam diri manusia agar dapat menjalani kehidupan yang lebih humanis.

Nabi Ibrahim dikenal karena ketaatannya yang luar biasa kepada Tuhan. Saat menerima perintah untuk mengorbankan putranya, meskipun berat hati, Ibrahim menunjukkan kesediaan untuk melaksanakan perintah tersebut. 

Begitu pula Ismail, yang dengan penuh keikhlasan menerima nasibnya dan menyuruh ayahnya untuk menjalankan perintah Tuhan tanpa ragu. Pada saat terakhir, Tuhan menggantikan Ismail dengan seekor domba, sebagai tanda bahwa Ibrahim telah lulus ujian iman tersebut.

Tindakan Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putra kesayangannya adalah contoh nyata dari ketaatan tanpa syarat kepada Tuhan. Ketaatan semacam ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Tuhan adalah puncak dari iman yang sempurna. 

Ibrahim tidak mempertanyakan perintah tersebut, tidak mencari alasan untuk menghindar, tetapi justru menunjukkan bahwa keyakinannya pada Tuhan melebihi segala keterikatan duniawi, termasuk cinta kepada anaknya sendiri. Demikian pula, Ismail yang masih muda dan penuh potensi, menunjukkan keberanian luar biasa dan keikhlasan yang jarang ada dengan menyuruh ayahnya untuk melaksanakan perintah Tuhan.

Makna Simbolis: Menyembelih Watak Hewani Transformasi Diri Menuju Kemanusiaan

Kisah ini tidak hanya tentang ketaatan kepada Tuhan, tetapi juga mengandung simbolisme yang kuat tentang pengorbanan watak hewani dalam diri manusia. Watak hewani merujuk pada sifat-sifat dasar manusia yang lebih mementingkan naluri dan hawa nafsu, seperti keserakahan, amarah, dan egoisme. Dalam konteks ini, tindakan menyembelih Ismail dapat dipahami sebagai tindakan simbolis untuk menyembelih atau mengendalikan sifat-sifat hewani tersebut.

Pengorbanan simbolis ini adalah bentuk perjuangan melawan naluri dasar yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam perilaku destruktif. Keserakahan, misalnya, dapat membuat seseorang menjadi tidak peka terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain. Amarah yang tak terkendali bisa memicu konflik dan kekerasan, sementara egoisme dapat menghancurkan hubungan dan merusak ikatan sosial. 

Dengan menyembelih sifat-sifat ini, manusia dapat bertransformasi menjadi makhluk yang lebih humanis, yang mampu menunjukkan empati, kasih sayang, dan rasa hormat kepada sesama.

Untuk menjadi lebih humanis dalam bersikap dan memperlakukan sesama, manusia harus mampu mengendalikan sifat-sifat hewaninya. Watak hewani, jika dibiarkan tanpa kendali, dapat menjerumuskan manusia ke dalam perilaku yang merusak dan tidak bermoral. Oleh karena itu, mengendalikan dan mengorbankan sifat-sifat tersebut adalah langkah penting menuju kemanusiaan yang sejati.

Pengorbanan Nabi Ibrahim mengajarkan kita tentang pentingnya pengendalian diri dan transformasi pribadi. Dengan mengorbankan watak hewani, manusia dapat membangun sifat-sifat yang lebih mulia, seperti kasih sayang, empati, dan kebaikan hati. Ini adalah kualitas-kualitas yang mendefinisikan kemanusiaan dan memungkinkan manusia untuk hidup berdampingan dengan damai dan harmoni.

 Transformasi ini bukanlah proses yang mudah dan sering kali membutuhkan pengorbanan besar. Namun, melalui upaya terus-menerus untuk mengendalikan naluri dasar, manusia dapat mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi.

Aplikasi dalam Kehidupan Modern

Nilai-nilai yang diajarkan oleh kisah pengorbanan Nabi Ibrahim tetap relevan hingga hari ini. Di dunia yang sering kali dipenuhi dengan konflik, ketidakadilan, dan keserakahan, mengorbankan watak hewani menjadi semakin penting. Dengan mempraktikkan pengendalian diri dan berusaha untuk mengembangkan sifat-sifat humanis, kita dapat berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih adil, damai, dan penuh kasih.

Misalnya, dalam konteks pekerjaan, seseorang yang mampu mengendalikan amarah dan egoismenya akan lebih mampu bekerja sama dengan baik dengan rekan-rekannya, menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif. Dalam kehidupan pribadi, pengendalian watak hewani memungkinkan seseorang untuk membangun hubungan yang lebih sehat dan penuh cinta dengan keluarga dan teman-temannya.

Contoh lain dari aplikasi nilai-nilai ini dapat dilihat dalam tindakan-tindakan kecil sehari-hari. Mengorbankan waktu pribadi untuk membantu orang lain, mengendalikan dorongan untuk marah dalam situasi yang memancing emosi, atau menahan diri dari godaan untuk berbuat curang demi keuntungan pribadi adalah bentuk-bentuk konkret dari pengorbanan watak hewani. Tindakan-tindakan ini, meskipun terlihat sederhana, memiliki dampak besar dalam membangun karakter dan menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik.

Di tingkat komunitas, pengorbanan watak hewani dapat membantu dalam menciptakan solidaritas dan kebersamaan. Ketika individu-individu dalam komunitas bersedia mengorbankan kepentingan pribadi demi kebaikan bersama, mereka menciptakan fondasi yang kuat untuk kerjasama dan saling mendukung. Hal ini sangat penting dalam masyarakat modern yang sering kali diwarnai oleh individualisme dan persaingan yang tidak sehat.

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail adalah pelajaran berharga tentang ketaatan, pengorbanan, dan pengendalian diri. Dengan menyembelih watak hewani dalam diri kita, kita dapat menjadi individu yang lebih humanis, mampu berperilaku dengan kasih sayang, empati, dan kebaikan hati. Transformasi ini tidak hanya bermanfaat bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Melalui pengorbanan yang simbolis ini, kita belajar untuk menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas naluri dasar kita, menciptakan dunia yang lebih baik untuk semua.

Pengorbanan Ibrahim mengajarkan bahwa untuk mencapai kedamaian dan harmoni dalam kehidupan, manusia harus berani menghadapi dan mengendalikan aspek-aspek negatif dalam diri mereka. Ini adalah proses yang memerlukan keberanian, keikhlasan, dan komitmen yang kuat. Namun, hasilnya adalah sebuah kehidupan yang lebih bermakna, penuh dengan kebaikan dan hubungan yang sehat dengan sesama. Dengan meneladani pengorbanan Nabi Ibrahim, kita dapat terus memperbaiki diri dan berkontribusi pada dunia yang lebih baik.

*Happy Eid Adha Mubarak 1445 H*

Achmad Room Fitrianto

Wakil Dekan 3 FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun