Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pengulangan Pilpres Philipina di Pilpres Indonesia

26 Oktober 2023   13:11 Diperbarui: 6 Februari 2024   20:32 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dekade 1965-1986, Filipina dikuasai oleh Ferdinand Marcos. Saat masa kepemimpinannya, warga Filipina hidup dalam keterbatasan, sementara keluarga Marcos menikmati kemewahan. Hal ini disebabkan oleh tuduhan korupsi yang melibatkan jumlah uang dalam miliaran dolar. Marcos memanfaatkan kekuasaannya sebagai diktator dengan cara memanipulasi hukum dasar dan menekan lawan-lawan politiknya.

Mirip dengan Filipina, di Indonesia pun ada sejarah penguasaan negara oleh keluarga otoriter, seperti masa Orde Baru di bawah Soeharto.

Pada tahun 1986, Filipina mengalami aksi revolusi rakyat menyusul kematian Benigno Aquino. Peristiwa ini mengubah arah politik, dan Cory Aquino, janda Benigno, menjadi presiden. Keluarga Marcos lalu melarikan diri ke Hawaii, membawa kekayaan mereka.

Di Indonesia, meskipun tidak terjadi revolusi serupa, kita menyaksikan transisi politik setelah Orde Baru, yang membawa pada pemilihan presiden secara demokratis.

Bongbong Marcos, putra dari Ferdinand Marcos, kembali ke dunia politik pada tahun 1990 dan meraih jabatan anggota DPR serta gubernur. Saudara perempuannya juga berhasil mencapai posisi politik yang tinggi. Kembali terlibat di politik adalah hasil dari kekayaan dan jaringan yang dimiliki.

Di Indonesia, contoh serupa ditemui pada tokoh-tokoh politik dengan latar belakang dan kekayaan keluarga mereka. Contohnya adalah masa puncak kekuasaan Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Selama periode tersebut, pertumbuhan nasional tumbuh dengan pesat. Sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensial dengan dasar konstitusi UUD 1945. Di tengah pertumbuhan ekonomi, sayangnya, praktik korupsi merajalela, terutama dalam proyek-proyek pembangunan yang melibatkan unit bisnis terkait keluarga penguasa saat itu.

Namun, keadaan berubah ketika krisis moneter melanda pada tahun 1997. Krisis ini berakar pada program pemerintah yang membiayai proyek-proyek jangka panjang melalui pinjaman jangka pendek. Ketika jatuh tempo tiba, proyek-proyek tersebut gagal memberikan kontribusi yang memadai, mengakibatkan krisis nilai tukar rupiah. Akibatnya, pemerintah kehilangan kepercayaan rakyat, dan pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.

Pada tahun 2022, Bongbong Marcos terpilih sebagai presiden Filipina. Pola ini sepertinya mengingatkan pada sejumlah tokoh di Indonesia, seperti Prabowo Subianto, yang memiliki akar dari era Orde Baru dan berpotensi mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Polanya mirip seperti Prabowo yg merupakan keluarga Orde Baru dan kemungkinan besar akan rujuk dengan Titik Suharto. Maju pemilu dg menggandeng putra presiden petahana. Sama sama pernah melarikan diri juga, kalau Prabowo ke Jordania sedangkan Bongbong ke Hawaii.

Namun, perlu diingat bahwa setiap pemilihan presiden adalah kasus unik dengan faktor-faktor yang berbeda. Indonesia dan Filipina memiliki sejarah, budaya, dan dinamika politik yang berbeda. Pemilih Indonesia akan mempertimbangkan banyak aspek dalam memilih calon presiden mereka, dan keputusan akhir mereka akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kinerja calon dan platform politik mereka.

Hal Baik (record baik) dan Buruk (record buruk) tidak bisa dicampuradukkan, kita sebagai bangsa semoga bisa memilih Presiden dengan catatan buruk yang paling sedikit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun