Pada dekade 1965-1986, Filipina dikuasai oleh Ferdinand Marcos. Saat masa kepemimpinannya, warga Filipina hidup dalam keterbatasan, sementara keluarga Marcos menikmati kemewahan. Hal ini disebabkan oleh tuduhan korupsi yang melibatkan jumlah uang dalam miliaran dolar. Marcos memanfaatkan kekuasaannya sebagai diktator dengan cara memanipulasi hukum dasar dan menekan lawan-lawan politiknya.
Mirip dengan Filipina, di Indonesia pun ada sejarah penguasaan negara oleh keluarga otoriter, seperti masa Orde Baru di bawah Soeharto.
Pada tahun 1986, Filipina mengalami aksi revolusi rakyat menyusul kematian Benigno Aquino. Peristiwa ini mengubah arah politik, dan Cory Aquino, janda Benigno, menjadi presiden. Keluarga Marcos lalu melarikan diri ke Hawaii, membawa kekayaan mereka.
Di Indonesia, meskipun tidak terjadi revolusi serupa, kita menyaksikan transisi politik setelah Orde Baru, yang membawa pada pemilihan presiden secara demokratis.
Bongbong Marcos, putra dari Ferdinand Marcos, kembali ke dunia politik pada tahun 1990 dan meraih jabatan anggota DPR serta gubernur. Saudara perempuannya juga berhasil mencapai posisi politik yang tinggi. Kembali terlibat di politik adalah hasil dari kekayaan dan jaringan yang dimiliki.
Di Indonesia, contoh serupa ditemui pada tokoh-tokoh politik dengan latar belakang dan kekayaan keluarga mereka. Contohnya adalah masa puncak kekuasaan Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Selama periode tersebut, pertumbuhan nasional tumbuh dengan pesat. Sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensial dengan dasar konstitusi UUD 1945. Di tengah pertumbuhan ekonomi, sayangnya, praktik korupsi merajalela, terutama dalam proyek-proyek pembangunan yang melibatkan unit bisnis terkait keluarga penguasa saat itu.
Namun, keadaan berubah ketika krisis moneter melanda pada tahun 1997. Krisis ini berakar pada program pemerintah yang membiayai proyek-proyek jangka panjang melalui pinjaman jangka pendek. Ketika jatuh tempo tiba, proyek-proyek tersebut gagal memberikan kontribusi yang memadai, mengakibatkan krisis nilai tukar rupiah. Akibatnya, pemerintah kehilangan kepercayaan rakyat, dan pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
Pada tahun 2022, Bongbong Marcos terpilih sebagai presiden Filipina. Pola ini sepertinya mengingatkan pada sejumlah tokoh di Indonesia, seperti Prabowo Subianto, yang memiliki akar dari era Orde Baru dan berpotensi mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Polanya mirip seperti Prabowo yg merupakan keluarga Orde Baru dan kemungkinan besar akan rujuk dengan Titik Suharto. Maju pemilu dg menggandeng putra presiden petahana. Sama sama pernah melarikan diri juga, kalau Prabowo ke Jordania sedangkan Bongbong ke Hawaii.
Namun, perlu diingat bahwa setiap pemilihan presiden adalah kasus unik dengan faktor-faktor yang berbeda. Indonesia dan Filipina memiliki sejarah, budaya, dan dinamika politik yang berbeda. Pemilih Indonesia akan mempertimbangkan banyak aspek dalam memilih calon presiden mereka, dan keputusan akhir mereka akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kinerja calon dan platform politik mereka.
Hal Baik (record baik) dan Buruk (record buruk) tidak bisa dicampuradukkan, kita sebagai bangsa semoga bisa memilih Presiden dengan catatan buruk yang paling sedikit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H