Evaluasi kinerja Pemkab di harian Jawa Pos hari ini (28 Juli 2020) menyebutkan buruk, menurut saya sih bukan buruk tapi perlu integritas lebih yg totalitas dari aparaturnya.
Wong kabupaten "Auto pilot" kog dibilang buruk, itu bukti "efisiensi" pemerintahan, "ndak usah diperintah mlaku dewe". Â Kenapa disebut Auto pilot?, salah satu indikasinya bisa dilihat dari SILPA Â (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran). Ternyata record SILPA Sidoarjo juga fantastis, Trend dana SILPA kabupaten Sidoarjo dari tahun 2015 ternyata Rp 574,2 milyar atau 13,4% dari APBD, Tahun 2016 naik menjadi 584 milyar atau 13,7 % dari APBD. Dana ini melonjak drastic di tahun 2017 menjadi sebesar 883,1 Milyar atau 19% dan terus naik hingga 2019 tembus lebih dari 1 triliun. Bayangkan kalau duit sebanyak itu dibelikan dawet dapat berapa ya?
Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2016 disebutkan bahwa Silpa merupakan salah satu pos pembiayaan daerah. Silpa dapat bersumber antara lain dari pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, sisa penghematan belanja, sisa belanja DAK, sisa belanja dana bagi hasil atau sisa belanja dana penyesuaian.
SILPA Muncul karena beberapa hal
Pertama karena realisasi pendapatan yang melampaui target. Sehingga dana yang didapat lebih tinggi dari target sedangkan anggaran yang harus dibelanjakan tetap, sehingga dengan begitu akan menghasilkan sisa banyak anggaran.
Kedua terjadi karena adanya kegiatan atau program pemerintah yang belum terselesaikan serta adanya pembatalan proyek yang hendak dilaksanakan. Kekurang terserapan program pemerintah ini dikarena sumber daya manusia baik jumlah dan kualitas yang relatif terbatas (kurang cakap dan kurang jumlah atau integritasnya dipertanyakan), adanya frekuensi penggantian atau rotasi pejabat yang cukup tinggi yang menyebabkan pembuatan keputusan dan ketepatan pengambilan keputusan menjadi lambat atau karena rotasi yang mandeq dan menaun yang mungkin memunculkan kebosanan karena rutinitas.
Ketiga karena tidak tercapainya DAK sesuai dengan target, transfer secara berkala dan bertahap sesuai dengan jadwal ke daerah disinyalir menjadi penyebab realisasi DAK yang tidak mencapai target. Penjadwalan pembayaran proyek yang cenderung dilakukan diakhir tahun yang menyebabkan menumpuknya realisasi belanja daerah.
Apapun sebab terjadinya SILPA, sering kali ini terlihat sebagai peluang menghambur-hamburkan dana sisa sebelum tutup buku di akhir tahun. Secara umum munculnya SILPA terjadi karena serapan anggaran di organisasi perangkat daerah (OPD) yang masih minim. Oleh karena itu diperlukan rotasi dan penyegaran di OPD guna memberikan pengalaman dan tour of duty yang memadai untuk meningkatkan skill dan kemampuan dalam menerjemahkan kebijakan pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H